lathif99

Malam semakin kelam dan gelap bertambah pekat. Seorang pemimpin besar, Imam Ali bin Abi Thalib r.a., tak lama lagi, akan meninggalkan lawan-lawannya, membiarkan mereka berkeliaran merusak kehidupan di muka bumi.


Di belahan bumi sana ia hidup menyendiri dirundung kepedihan; hidup disayat-sayat kesunyian kejam yang belum pernah dialaminya selama ini. Hidup terpisah menjauhkan diri dari bencana kesesatan yang sedang melanda kaumnya. Terpisah bersama hati parah dicekam duka lara. Seorang diri terjauhkan dari zamannya, seakan-akan terhempas keluar dari permukaan bumi. Namun bumi ini selesai sudah mencatat semua ucapan dan tutur katanya... ya, bahkan bumi itu sendiri menjadi saksi abadi atas semua amal perbuatannya yang serba luar biasa.

Di permukaan bumi ini ia hidup tiada tara… memberi tanpa meminta… dimusuhi namun tak pernah menyiksa… sanggup melawan tetapi lebih suka menyebar maaf sebanyak-banyaknya. Tak pernah menusuk hati pembencinya dan tidak pula mengecewakan para pencintanya. Penolong bagi si lemah, teman bagi yang hidup terasing, dan bapak bagi si yatim. Dekat dari manusia tertekan yang mengharap uluran tangan untuk menghapus kemungkaran dan penderitaan. Kaya ilmu dan berlimpah-limpah kearifannya. Hatinya tenggelam dalam banjir air mata derita insan, di gunung-gunung dan di tiap dataran. Mengayun pedang mematahkan kedzaliman dan kegelapan, namun cinta kasihnya tetap tertumpah kepada orang teraniaya. Di kala sinar mentari memancar terang ia sibuk menegakkan kebenaran dan keadilan… dan di masa malam mulai kelam airmatanya berlinang menangisi derita ummat di hari-hari mendatang…

Di bumi ia hidup tiada tara… Tiap mendengar rintihan si madzlum, suaranya menggeledek menggoncang pautan si dzalim. Tiap mendengar jerit orang meminta pertolongan tanpa ayal lagi ia menghunus pedang berkilau memudarkan mata berniat jahat. Tiap mendengar teriakan fakir kelaparan lubuk hatinya digenang airmata kasih, menggelegak laksana air bah menerjang tanah gersang...

Selagi masih hidup di bumi ini, ia lain dari yang lain. Logika dan penalarannya tepat dan benar. Cara hidupnya amat sederhana. Berbusana kain kasar… dan senantiasa bersikap rendah hati. Di saat banyak manusia tergelincir menukik ke bawah, ia justru rnenjulang tinggi meraih awan…

Sungguh aneh ia hidup di bumi ini. Di saat orang lain bergelimang kenikmatan, ia bahkan terbenam dalam penderitaan… tetapi, tahukah saudara… Siapakah orang yang gagah berani, genial, aneh, berpandangan jauh, dan selalu dibebani penderitaan oleh orang-orang yang justru diinginkan olehnya supaya mereka itu menikmati kehidupan dunia dan kebahagiaan akhirat?

Siapakah pria jantan itu… Ya, siapakah orang genial dan aneh itu? Bukankah ia seorang yang dibenci lawan hanya karena mereka dengki dan iri hati? Bukankah ia seorang yang dijauhi oleh para sahabat hanya karena mereka takut menghadapi ancaman lawannya? Dan, akhirnya ia seorang diri berjuang menentang kemungkaran dan kebatilan, menghadapi manusia-manusia dzalim dengan sikap tegak berdiri di atas jalan kebenaran. Ia tidak mabok di saat menang dan tidak patah di saat kalah, sebab ia yakin kebenaran akhirnya pasti akan menemukan tempatnya yang hilang, walau banyak orang takut dan lari memejamkan mata. Siapa lagi orang sedemikian genialnya itu kalau bukan Imam Ali bin Abi Thalib? Seorang Khalifah yang berasal dari Ahlu Bait
Rasul Allah s.a.w., seorang Amirul Mukminin, yang tak pernah hidup tanpa derita, dan yang akhirnya menjadi korban pengkhianatan Abdurrahman bin Muljam.
* * * *

Malam itu malam penuh tanda-tanya. Awan tebal menyelimuti udara di langit tinggi, berarak pelahan-lahan, kadang dikoyak sambaran petir mengkilat, teriring hembusan angin lembut. Di sana-sini tampak burung-burung gagak tua hinggap di sarangnya masing-masing, dengan kepala terangguk-angguk berat menunduk, seolah-olah tak berdaya lagi mengicaukan suara gaduh menyongsong datangnya hari esok, seakan-akan tak sanggup lagi menegakkan kepala menghadapi intaian Elang Raksasa!

Imam Ali terjaga sepanjang malam tak dapat mengenyam nikmatnya tidur. Ia membayangkan hari-hari mendatang yang penuh manusia tersiksa kedzaliman dan hidup tertekan teraniaya. Tetapi di samping mereka ada manusia-manusia lain yang serakah, menanjak dan meninggi, kuat dan congkak, menghardik dan menelan orang-orang yang lemah. Ia membayangkan lawan lawannya sedang saling-bantu berbuat kemungkaran, orang-orang durhaka yang sedang bahumembahu bergandeng tangan mengejar maksiat. Bersamaan dengan itu ia pun membayangkan para pendukung dan pengikutnya sedang berlomba-lomba mundur meninggalkan kebenaran yang kemarin dibela dan dipertahankan oleh mereka sendiri!

Imam Ali terjaga sepanjang malam, tak dapat mengenyam nikmatnya tidur. Terbayang keadilan sedang diinjak-injak dan kebajikan sedang dilumur noda. Segala yang suci sudah digadai oleh manusia-manusia yang hidup tanpa arah dan hampa. Kemuliaan hidup kini hanya tergantung dan ditentukan oleh kemauan manusia-manusia yang sedang berbuat kerusakan di bumi, dan… kemunafikan merajalela di mana-mana!
Imam Ali terjaga sepanjang malam, tak dapat mengenyam nikmatnya tidur. Terkenang hidupnya selama ini. Sejak lahir di permukaan bumi dirinya telah menjadi kekuatan pembela kebenaran dan keadilan, menjadi saudara bagi semua orang yang hidup sengsara, teraniaya dan terlunta-lunta. Ia seolah-olah bagaikan geledek menyambar kepala orang-orang durhaka. Tidak hanya lidahnya yang berbicara tentang mereka, tetapi pedangnya, si Dzul Fiqar, pun ikut menggemerincingkan suara.

Di malam itu terbayang pada alam khayalnya lembaran-lerabaran sejarah hidupnya sendiri di masa silam dan masa kini. Ia teringat pada kehidupan di masa muda, menghunus pedang di depan hidung kaumnya, kaum musyrikin Qureiys! Ia heran bercampur bangga, mengapa sampai sanggup berbuat seperti itu, menarikan pedang di depan muka mereka untuk membela risalah agama. Ia bangga turut menyebar berita gembira kepada mereka yang hidup mendambakan kebenaran, dan pedih mengingatkan mereka yang berkecimpung di lumpur kebatilan. Ia teringat, di kala itu orang-orang Qureiys mengkeret mundur sambil melontarkan ejekan sia-sia. Dan ia tetap maju menempuh jalan hidupnya sendiri, rela mengorbankan nyawa dan segala yang berharga dalam menghadapi tantangan mereka, demi pengabdian kepada Allah dan agama-Nya yang benar.

Terbayang olehnya kenangan lama, ketika berselunjur di pembaringan putera pamannya, Muhammad Rasul Allah s.a.w., pada malam hijrah. Kala itu ia terbaring di bawah bayangan puluhan pedang yang haus darah. Betapa resah dan gelisah hatinya, bukan karena takut binasa, melainkan khawatir kalau-kalau Abu Sufyan dengan bantuan kaum musyrikin Qureiys dan tengkulak-tengkulak nyawa lainnya, akan berhasil mengganggu Rasul Allah s.a.w. di tengah jalan. Ternyata di bawah lindungan Ilahi beliau lolos dengan selamat, dan cahaya agama yang dibawanya berhasil menembus kegelapan jahiliyah!

Ia masih terus mengenangkan kehidupannya di masa lalu. Teringat olehnya ketika mengarungi peperangan-peperangan adil sebagai pahlawan. Dengan semangat kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya ia berhasil meruntuhkan benteng-benteng musuh dan menumpas kaum durhaka.

Teringat pula ketika ia sedang dikerumuni oleh kaum fakir miskin dan orang-orang lemah lainnya. Ia melihat mereka bersembah sujud ke hadhirat Allah memanjatkan syukur, tiap kali mereka menyaksikan tangannya mengayuri pedang di atas kepala musuh-musuh mereka.

Dengan mata kepala sendiri mereka melihat orang-orang Qureiys durhaka lari tungganglanggang menyelamatkan nyawa laksana belalang terbang berserakan tertiup angin kencang. Ia teringat kepada putera pamannya, Muhammad Rasul Allah s.a.w. sedang menatap mukanya dengan sinar mata penuh kasih sayang, kemudian memeluk sambil berucap: "Inilah saudaraku! "Ia juga teringat ketika beliau datang berkunjung ke rumahnya di saat ia sedang tidur. Waktu isterinya --Fatimah Azzahra binti Muhammad Rasul Allah s.a.w.-- hendak membangunkan, tiba-tiba beliau berkata: "Biarkan dia! Mungkin sepeninggalku ia akan 'bergadang' lama sekali! "Mendengar ucapan ayahandanya seperti itu Sitti Fatimah menangis terisak-isak! Lebih dari itu semua, ia pun teringat ketika Rasul Allah s.a.w. berkata kepadanya: "Allah telah menghiasi hidupmu dengan perhiasan yang paling disukai oleh-Nya. Yaitu bahwa engkau telah dikaruniai rasa cinta kasih kepada kaum yang lemah dan merasa senang mempunyai pengikut-pengikut seperti mereka. Sedang mereka juga merasa senang mempunyai pemimpin seperti engkau!"

Kemudian terbayang olehnya peristiwa wafatnya Rasul Allah s.a.w. di hadapannya, yaitu saat beliau mengarahkan pandangan mata terakhir kepadanya. Kini bayangan wajah isterinya yang telah lama mendahului --Siti Fatimah r.a.-- terpampang di pelupuk mata, yang pada saat itu tampak sangat sedih. Dikarenakan kehancuran hati dan perasaannya, belum sampai seratus hari isteri tercinta itu menyusul ayahandanya dalam usia belum mencapai 30 tahun. Kini Imam Ali sedang teringat sewaktu mengantar kemangkatan isterinya menghadap Allah Rabbul'alamin, yaitu saat ia berdiri di atas makamnya sambil menangis tersedu-sedu, kemudian pulang ke rumah di petang hari dengan hati yang hancur luluh. Kesedihan abadi di malam pudar!

Terlintas pula dalam ingatannya, ketika Umar Ibnul Khattab r.a. menolehkan muka kepadanya seraya berkata: "Demi Allah, bila engkau yang memimpin mereka --ummat muslimin-- engkau pasti akan membawa mereka ke jalan yang benar dan ke cahaya yang terang benderang!" Di telinga Imam Ali sekarang sedang mengiang-ngiang suara para sahabatnya, yaitu ketika mereka berkata: "Pada masa hidupnya Rasul Allah s.a.w. kami mengenal orang-orang munafik dari sikap mereka yang membenci anda!"

Ya…, bahkan Rasul Allah s.a.w. sendiri berkali-kali memperdengarkan ucapan: "Hai Ali, tidak ada yang membencimu selain orang munafik! "Saat itu Imam Ali teringat kepada kawan-kawan seperjuangan, ketika berjuang bersama-sama dan bahu-membahu serta saling bantu di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. Sekarang di antara mereka ada yang masih terus berjuang dan ada pula yang sudah berkomplot melawan dia, hanya karena didorong oleh ambisi hendak merebut kekuasaan dan kepemimpinan. Tetapi mereka yang masih tetap menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, dan mereka yang masih tetap setia membela kebajikan… alangkah bahagianya dan berkahnya mereka itu. Walaupun mereka hidup terasing di dunia, dicampakkan oleh musuh-musuh kebenaran dan keadilan dan dirintangi oleh kedzaliman berselimut ribuan cara.

Imam Ali sekarang sedang membayang-bayangkan wajah Abu Dzar, yang ketika itu mengenakan serban kumal mencari-cari Rasul Allah s.a.w. untuk dapat mengabdikan diri kepada kebenaran Allah s.w.t. Setelah itu Abu Dzar mencurahkan seluruh isi hati, fikiran dan perasaan serta segenap jiwa raga kepada perjuangan membela kebenaran melawan kebatilan. Tetapi perjuangannya yang gigih membela kaum madzlum, yang hidup sengsara, ternyata berakhir dengan tragedi menyedihkan yang dibuka sumbatnya oleh Marwan bin Al-Hakam pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. Ia kemudian diusir, dibuang dan dipencilkan sampai datang ajal menjemput nyawa, dan sesudah semua puteranya mati lebih dulu di depan matanya. Isteri Abu Dzar, seorang wanita baik hati, sewaktu menghadapi kemangkatan suaminya, ingin mati lebih dulu agar tidak sampai "mengalami kematian dua kali!" Yaitu mati dalam hidup dan mati sesudah hidup. Abu Dzar mati kelaparan dalam cengkeraman buas beberapa orang Bani Umayyah yang sedang berdiri di atas hamparan emas.

Betapa sedihnya Imam Ali teringat kepada Ammar bin Yasir; seorang sahabat setia yang pada hari-hari belum lama berselang mati terbunuh. Ammar benar-benar seperti saudara kandung Imam Ali sendiri. Seorang yang hidup amat sederhana, penuh taqwa, jujur dan berani. Ia mati terbunuh melawan gerombolan pemberontak Muawiyah di Shiffin.

Ya, dimanakah sekarang sahabat-sahabat Imam Ali? Teman-teman dan para sahabat yang dulu menempuh jalan yang sama dan berdiri tegak bersama-sama memadu tekad untuk membela kebenaran? Teman dan sahabat yang dulu tak pernah meninggalkan dia, tak pernah mempergunjingkan dia, dan tak pernah berlaku buruk terhadap dirinya? Dimanakah mereka itu semua? Mereka sekarang sudah banyak sekali yang bertolak belakang. Namun Imam Ali masih tetap terus berkecimpung dalam perjuangan sengit melawan kedzaliman dan pelaku-pelakunya. Imam Ali sekarang melaksanakan tugas perjuangan seorang diri, setelah dahulu dikerumuni oleh banyak sahabat dan pendukung setia. Perjuangan membela kebenaran dan keadilan melawan suatu kaum yang mempunyai anak-anak liar dan pemuda-pemuda dekaden, sedangkan para orang tua mereka tidak mendorong supaya mereka berbuat baik dan meninggalkan kemungkaran. Suatu kaum yang hanya disegani oleh orang-orang yang takut berbicara, tidak dihormati selain oleh orang-orang yang mengharapkan pemberiannya.

Alangkah kejamnya kehidupan ini, sehingga Imam Ali sampai detik-detik akhir hayatnya hanya mengenal perjuangan dan penderitaan! Alangkah teganya kehidupan ini, sampai membiarkan orang-orang yang baik hidup tersingkir satu demi satu, dan sampai bumi ini penuh dengan kedzaliman dan kebathilan!

Aduhai, alangkah parahnya hari esok yang dibayangkan oleh Imam Ali dengan fikiran dan perasaannya pada malam itu. Setelah malam itu lewat, apakah gerangan yang akan dialami oleh pemimpin besar kaum muslimin itu? Seorang pemimpin yang dirugikan oleh kejujurannya, tetapi ia tidak sudi berdusta walau akan memperoleh keberuntungan. Setelah malam itu lewat, apalagi yang akan dialami oleh seorang pernimpin yang menjadi bapak orang banyak itu?

Seorang pemimpin yang lebih suka menderita di dalam kebenaran daripada hidup senang di dalam kebatilan. Ya, setelah malam itu lewat, apalagi yang akan dialami oleh seorang pemimpin yang berfikir dan berperasaan adil terhadap sesama manusia; dan seorang pemimpin yang bekerja mengabdi kebenaran tak peduli apakah gunung-gunung akan runtuh ataukah bumi akan longsor.

Alangkah gelapnya hari esok di mana si pandir akan merangkak berlagak pandai dalam suasana penuh kedzaliman, agar orang-orang yang berkuasa mau menarik-narik ekornya dengan bangga. Sedangkan kaum cerdik pandai yang tak mau mengikuti jejak orang-orang itu akan digilas sampai pipih, kering dan remuk, kehabisan nafas dan tinggal saja merasakan siksa dunia. Pendukung kedzaliman yang memerangi Imam Ali dengan otak, hati, lidah dan pedang, akan dapat menjadi manusia yang hidup senang. Suasana sungguh sudah terjungkir balik, siang disulap menjadi malam, dan kiri disulap menjadi kanan. Adapun pendukung keadilan yang membela Imam Ali dengan otak, hati, lidah dan pedang, pasti akan menjadi orang-orang sengsara, teraniaya dan dikepung penderitaan dari segenap jurusan!

Terbayang semuanya itu Imam Ali melinangkan airmata sambil mengusap-usap janggut. Keheningan malam yang sunyi senyap seolah-olah ikut menangis teriring suara hembusan angin sepoi-sepoi. Mata Imam Ali sampai membengkak karena terlampau banyak memeras airmata. Ia kemudian mengarahkan pandangan ke bintang-bintang dan awan di cakrawala. Remang-remang cahaya malam tanpa pandang bulu meratai kemegahan rumah-rumah kaum yang dzalim dan gubuk-gubuk reyot kaum yang madzlum. Tanpa pilih kasih kegelapan malam itu menggenangi orang-orang berhati dengki dan orang-orang berbaik hati yang sedang dirundung derita. Semua mendapat perlakuan sama.

Setelah itu Imam Ali teringat kepada sikapnya sendiri terhadap kekayaan duniawi, kemudian berucap: "Hai dunia…, hai dunia, rayulah orang selain aku!" Ya, benar-benar ia telah menjungkir-balikan dunianya di depan wajah dunia!

Malam semakin kelam dan gelap bertambah pekat… Ia merasa hidup di dunia seolah-olah sudah sampai di suatu tempat dimana ia harus berada seorang diri. Betapa sedihnya hidup di permukaan bumi ini dalam sebuah rumah seorang diri, rumah yang sunyi senyap lagi terpencil. Matanya dipejamkan sejenak, seolah-olah sedang menangkap desiran malam yang mengerikan.a terkantuk mimpi melihat Rasul Allah s.a.w. Dalam mimpi ia bertanya kepada putera pamannya itu: "Ya Rasul Allah, apakah yang harus kuperbuat terhadap ummatmu yang serong dan saling bermusuhan?" Beliau menjawab: "Mohonlah pembalasan buruk bagi mereka hepada Allah!" Imam Ali kemudian berdoa: "Ya Allah, gantilah mereka itu dengan orang-orang yang baik bagiku, dan gantilah aku dengan orang yang lebih buruk bagi mereka!"

Dalam mimpinya itu ia pun melihat kaum fakir miskin dan kaum lemah lainnya bersama-sama orang-orang yang kuat sedang berada di dalam sebuah bahtera oleng terpukul badai di tengah lautan. Semua orang yang ada dalam bahtera itu cemas ketakutan menghadapi marabahaya di kegelapan malam. Mereka dihempaskan ke sana dan ke mari oleh angin ribut. Itulah akhir mimpi dan kenangan hidupnya menjelang subuh dini hari yang mengantar Abdur Rahman bin Muljam datang menyelinap ke dalam masjid dengan senjata tajam di tangan. Dua hari kemudian ia wafat, dan Ibnu Muljam bukannya berhasil membayar maskawin yang diminta oleh perempuan jalang bernama Qitham binti Al Akhdar, melainkan ia harus membayar petualangannya dengan nyawa sendiri!

0 Responses

Posting Komentar