lathif99

Dengan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. tidaklah terselesaikan persoalan-persoalan gawat yang dihadapi oleh kaum muslimin. Malahan muncul krisis politik yang sifatnya lebih gawat, yang menuntut penanggulangan secara tepat dan bijaksana. Beberapa waktu lamanya kehidupan kaum muslimin tanpa pimpinan tertinggi dan situasi pemerintahan menjadi kosong.


Duniawi kontra Zuhud

Dalam situasi mengandung berbagai kemungkinan buruk itu, tokoh-tokoh Bani Umayyah yang selama ini memperoleh kepercayaan penuh dari Khalifah Utsman r.a., justru tidak mengambil tindakan apa pun juga. Marwan bin Al-Hakam dan kawan-kawannya lari meninggalkan Madinah.

Amr bin Al-Ash, pada saat-saat Khalifah Utsman r.a. dikepung kaum muslimin yang memberontak, cepat-cepat pergi ke Palestina. Sedangkan Muawiyah bin Abi Sufyan sendiri, tidak juga mengambil inisiatif apa pun. Begitu pula Abdullah bin Abi Sarah yang sedang menjadi penguasa daerah Mesir. Semuanya diam, seolah-olah tak pernah terjadi suatu peristiwa politik yang besar dan gawat.

Orang bertanya-tanya: Mengapa para penguasa Bani Umayyah yang berkuasa di Mesir dan di Syam tidak segera memberi pertolongan kepada Khalifah Utsman r.a.? Kemudian setelah Khalifah Utsman r.a. terbunuh, mengapa mereka tak segera mengirimkan pasukan untuk bertindak tegas terhadap kaum pemberontak dan menangkap oknum-oknum yang merencanakan dan melaksanakan pembunuhan atas diri Khalifah itu? Kenapa mereka berpangku tangan, padahal mereka mempunyai kekuatan cukup untuk melakukan tindakan hukum, sebelum Khalifah yang baru di angkat?

Pertanyaan-pertanyaan serupa itu adalah wajar. Sebab, para penguasa Bani Umayyah dan tokoh-tokohnya bukan orang-orang yang baru dilahirkan kemarin. Mereka cukup makan garam politik, terutama pada waktu mereka dulu mengorganisasi dan memimpin orang-orang kafir Qureiys melancarkan perlawanan bersenjata terhadap Rasul Allah s.a.w. dan kaum muslimin.

Nampaknya mereka bukan tidak bertindak, tetapi ada perhitungan lain. Pada masa itu tokoh Bani Umayyah yang paling terkemuka ialah Muawiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi sejarah keislamannya tidak memungkinkan dirinya dapat dipilih sebagai Khalifah
pengganti Khalifah Utsman bin Affan r.a. Ia memeluk Islam setelah tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri dengan jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin. Ia masuk Islam kurang lebih dua tahun sebelum wafatnya Rasul Allah s.a.w. Sebelum itu ia sangat gencar memerangi kaum muslimin dalam usaha memukul Islam.

Dengan kata lain, selama masih ada sahabat-sahabat Rasul Allah s.a.w. yang sejak dulu sampai sekarang masih gigih membela kebenaran agama Allah, seperti Imam Ali r.a. dan lain-lain, harapan bagi Muawiyah untuk dapat dibai'at sebagai Khalifah penerus Utsman r.a. tidak mungkin dapat terlaksana.

Usaha merebut atau mewarisi kekhalifahan Utsman r.a. lebih dipersulit lagi oleh dua kenyataan:
1. Khalifah Utsman r.a. wafat akibat terjadinya konflik politik yang gawat dengan rakyatnya sendiri.
2. Ia wafat meninggalkan warisan situasi pemerintahan yang sudah tidak disukai oleh kaum muslimin.

Konflik politik dan warisan situasi yang tidak menguntung kan orang-orang, Bani Umayyah itu perlu "dibenahi" lebih dulu untuk dapat meraih kedudukan sebagai pengganti Khalifah Utsman r.a.

Muawiyah harus dapat menciptakan situasi baru, di mana konflik politik yang sedang panas itu bisa dialihkan kepada sasaran baru. Untuk ini harus pula dicari "kambing hitam" yang "tepat". Dalam hal ini ialah orang yang mempunyai kemungkinan paling besar akan dibai'at oleh kaum muslimin sebagai Khalifah. Imam Ali r.a. merupakan seorang tokoh yang paling banyak mempunyai syarat untuk dibai'at. Ia bukan hanya anggota Ahlu-Bait Rasul Allah s.a.w., melainkan juga ia seorang genial, ilmuwan dan pahlawan perang.

Sudah sejak dulu, tokoh-tokoh Bani Umayyah selain Utsman r.a. memandang Imam Ali r.a. dengan perasaan benci dan murka. Mereka tidak bisa melupakan betapa banyaknya korban kafir Qureiys, termasuk sanak famili mereka, yang mati di ujung pedang Imam Ali r.a. dalam pertempuran-pertempuran antara kaum musyrikin dan kaum muslimin di masa lalu.

Mereka juga tahu, bahwa di masa Khalifah Utsman r.a. masih hidup, Imam Ali r.a. satu-satunya orang yang selalu mengingatkan Khalifah tentang besarnva bahaya yang akan timbul akibat permainan para pembantunya yang terdiri dari orang-orang Bani Umayyah. Imam Ali r.a. jugalah yang selalu menasehati Khalifah Utsman r.a. supaya mencegah berlarut-larutnya pacuan memperebutkan harta kekayaan secara tidak sah, yang sedang terjadi di kalangan sementara lapisan ummat lslam. Bahkan Imam Ali r.a. jugalah yang bila perlu melancarkan kritik-kritik secara terbuka dan jujur terhadap kebijaksanaan Khalifah Utsman r.a. Tokoh-tokoh Bani Umayyah tahu benar, bahwa Imam Ali r.a. adalah juru bicara yang paling mustahak mewakili jeritan sebagian besar kaum muslimin, yang ingin dipulihkan kembali suasana kehidupan seperti yang pernah terjadi pada zaman hidupnya Rasul Allah s.a.w.

Golongan Bani Umayyah memandang Imam Ali r.a. sebagai penghambat dan selalu menjadi perintang bagi mereka dalam usaha meraih kedudukan dan keuntungan-keuntungan materil. Seandainya Khalifah Utsman r.a. sebelum wafatnya berwasyiat supaya Imam Ali r.a. dibai'at sebagai Khalifah penggantinya, golongan Bani Umayyah sudah pasti tidak akan melaksanakannya.

Pertentangan antara Muawiyah dan pendukung-pendukungnya dengan Imam Ali r.a. dan pendukung-pendukungnya, pada hakekatnya bukanlah pertentangan antar-golongan, melainkan pertentangan antara kehidupan yang terangsang oleh kenikmatan-kenikmatan duniawi dengan kehidupan zuhud. Hal ini akan terbukti kebenarannya pada babak-babak terakhir dari proses pertentangan antara keduabelah fihak.




Mencari Calon Pengganti

Dalam situasi tidak menentu, kaum pemberontak dan penduduk Madinah berpendapat, bahwa hanya salah seorang di antara 5 orang sahabat dekat Rasul Allah s.a.w. yang patut dibai'at sebagai Khalifah pengganti. Mereka itu ialah yang dulu bersama-sama Utsman bin Affan r.a. pernah dicalonkan oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. sebelum wafatnya. Namun dari yang 5 orang itu, hanya 4 orang saja yang masih hidup. Abdurrahman bin A'uf sudah tiada.

Tragedi pembunuhan Khalifah Utsman r.a. sangat menggoncangkan dan memilukan Sa'ad bin Abi Waqqash. Karena sebelum itu, Khalifah Umar r.a. juga mati terbunuh, sungguhpun pembunuhnya bukan seorang muslim (tetapi majusi) dan terjadinya bukan akibat konflik politik di antara sesama kaum muslimin. Oleh karena itu Sa'ad bin Abi Waqqash mengambil keputusan untuk menjauhkan diri sama sekali dari kegiatan politik kenegaraan dan kemasyarakatan. Ia tidak mau melibatkan diri atau dilibatkan dalam proses pembai'atan seorang Khalifah baru.

Dengan demikian dari 4 orang sahabat Nabi Muhammad s.a.w. yang masih hidup, kini hanya tinggal 3 orang saja yang dapat dicalonkan. Jalan mennuju terbai'atnya Khalifah ke 4 ternyata tidak selicin seperti yang diperkirakan orang.

Dalam proses permulaan saja sudah menghadapi kesukaran berat. Karena ketiga orang calon tersebut sudah tidak ada yang bersedia dibai'at sebagai Khalifah. Usaha pendekatan yang dilakukan oleh kaum muslimin yang memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a. sukar diterima oleh tiga orang sahabat Rasul Allah s.a.w. itu. Kemacetan berlangsung selama 8 hari.

Sedangkan kaum muslimin, baik yang tinggal di kota Madinah maupun yang di daerah-daerah, cemas-cemas gelisah menantikan adanya pimpinan yang baru. Tragedi pembunuhan kejam terhadap Khalifah Utsman r.a., dikuasainya ibukota oleh kaum pemberontak, macetnya pemilihan Khalifah baru, semuanya merupakan kerawanan yang amat berbahaya. Pasukan-pasukan muslimin yang sedang bertugas di luar daerah dengan gelisah menunggu adanya instruksi-instruksi baru. Jika krisis itu berlarut-larut, mereka sangat khawatir kalau-kalau musuh Islam akan memanfaatkan krisis kepemimpinan itu sebagai peluang yang baik untuk melancarkan serangan-serangan.

Di Mesir, seorang Kepala Daerah yang tidak disukai oleh penduduk dan dituntut pemberhentiannya (Abdullah bin Abi Sarah) masih tetap berkuasa. bersama dengan itu, seorang Kepala Daerah yang terkenal cakap dan erat hubungannya dengan Khalifah Utsman r.a., yakni Muawiyah, hanya sibuk dalam kegiatan meningkatkan kedudukannya.

Kaum pemberontak menyadari, tanpa kerjasama dan bantuan aktif kaum Muhajirin dan Anshar, mereka tidak akan berhasil menentukan pengganti Khalifah Utsman r.a. Setelah mengadakan pembahasan secara mendalam tentang situasi gawat yang akan timbul akibat tidak adanya pemerintahan pusat, dan dengan dukungan kaum Muhajirin dan Anshar, para sahabat Rasul Allah s.a.w., sepakat untuk secepat mungkin mengadakan pemilihan seorang calon, yang akan dibai'at sebagai Khalifah baru. Calon itu ialah Imam Ali r.a.


0 Responses

Posting Komentar