lathif99

Dalam peperangan yang kedua ini, Rasul Allah s.a.w. menyerahkan panji kaum muhajirin kepada Imam Ali r.a. Sedangkan panji kum Anshar diserahkan kepada salah seorang di antara mereka sendiri. Peperangan Uhud terkenal dalam sejarah sebagai peperangan yang amat gawat. 700 pasukan muslimin harus berhadapan dengan 3.000 pasukan kafir Qureiys yang dipersiapkan dengan perbekalan dan persenjataan serba lengkap. Kecuali itu diperkuat pula dengan pasukan wanita di bawah pimpinan Hindun binti 'Utbah, isteri Abu Sufyan bin Harb, guna memberikan dorongan moril, agar orang-orang kafir Qureiys jangan sampai lari meninggalkan medan tempur.

Untuk menghadapi kaum musyrikin yang sudah memusatkan kekuatan di Uhud, pasukan muslimin di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. menuju ke tempat itu, dengan memotong jalan sedemikian rupa, sehingga gunung Uhud berada di belakang mereka. Kemudian Rasul Allah s.a.w. mulai mengatur barisan. 50 orang pasukan pemanah ditempatkan pada sebuah lembah di antara dua bukit. Kepada mereka diperintahkan supaya menjaga pasukan yang ada di belakang mereka. Ditekankan jangan sampai meninggalkan tempat, walau dalam keadaan bagaimanapun juga. Sebab hanya dengan senjata panah sajalah serbuan pasukan berkuda musuh dari belakang dapat ditahan.

Perang Uhud mulai berkobar dengan tampilnya Imam Ali r.a. ke depan melayani tantangan Thalhah bin Abi Thalhah yang berkoar menantang-nantang: "Siapakah yang akan maju berduel?"

Seperti api disiram minyak semangat Imam Ali r.a. membara. Dengan ayunan langkah tegap dan tenang, serta sambil mengeretakkan gigi, ia maju dengan pedang terhunus. Baru saja Thalhah bin Abi Thalhah menggerakan tangan hendak mengayun pedang, secepat kilat pedang Imam Ali r.a. "Dzul Fikar" menyambarnya hingga terbelah dua. Betapa bangga Rasul Allah s.a.w. menyaksikan ketangkasan putera pamannya itu. Ketika itu kaum muslimin yang menyaksikan kesigapan Imam Ali r.a., mengumandangkan takbir berulang-ulang.

Dengan tewasnya Thalhah bin Ahi Thalhah, pertarungan sengit berkecamuk antara dua pasukan. Sekarang Abu Dujanah tampil dengan memakai pita maut di kepala dan pedang terhunus di tangan kanan yang baru saja diserahkan oleh Rasul Allah s.a.w. kepadanya. Ia seorang yang sangat berani. Laksana harimau keluar dari semak belukar ia maju menyerang musuh dan membunuh siapa saja dari kaum musyrikin yang berani mendekatinya. Bersama Abu Dujanah, Imam Ali r.a. mengobrak-abrik barisan musuh.

Dalam pertempuran ini Hamzah bin Abdul Mutthalib tidak kalah semangat dibanding dengan putera saudaranya sendiri, Imam Ali r.a., dan Abu Dujanah. Hamzah demikian lincah dan tangkas melabrak pasukan musyrikin dan menewaskan tiap orang yang berani mendekat. Ia terkenal sebagai pahlawan besar dalam menghadapi musuh. Sama seperti dalam perang Badr, dalam perang Uhud ini Hamzah benar-benar menjadi singa dan merupakan pedang Allah yang sangat ampuh. Banyak musuh yang mati di ujung pedangnya.

Dalam pertempuran antara 700 pasukan muslimin melawan 3000 pastikan musyrikin itu, kita saksikan kejantanan trio Imam Ali r.a., Hamzah dan Abu Dujanah. Mereka merupakan tauladan dan wujud dari kekuatan moril yang sangat tinggi. Suatu kekuatan yang membuat pasukan Qureiys menderita kehancuran mental, mundur dan surut.

Tiap panji mereka lepas dari tangan pemegangnya dan diganti oleh pemegang panji yang lain, tiap kali itu juga dipangkas habis oleh tiga sejoli pahlawan Islam itu. Thalhah bin Abi Thalhah kepalanya dibelah dua oleh Imam Ali r.a. Utsman bin Abi Thalhah dipotong gembungnya oleh Hamzah, Abu Saad lolos dari ujung pedang Abu Dujanah dan berusaha merebut panji musyrikin Qureiys yang sudah dirobek-robek oleh Abu Dujanah, tetapi keburu dipisahkan kepalanya dari batang tubuhnya oleh Imam Ali r.a. Sembilan orang pemegang panji musyrikin Qureiys tewas berturut-turut di ujung pedang Imam Ali r.a., Hamzah dan Abu Dujanah.

Mental pasukan Qureiys sudah patah sama sekali. Pasukan wanita mereka lari terbirit-birit. Berhala-berhala yang mereka bawa untuk dimintai restu dalam peperangan, sekarang sudah jatuh terpelanting dari punggung unta. Dalam keadaan masing-masing lari untuk menyelamatkan diri, semua perbekalan yang mereka bawa dari Makkah ditinggalkan dan senjata-senjata di buang di kiri-kanan jalan.

Alangkah banyaknya barang-barang itu. Hal ini membuat pasukan muslimin lengah dan lupa daratan. Fikiran mereka sudah teralih kepada kekayaan duniawi. Pasukan pemanah yang di wanti-wanti supaya jangan sampai meninggalkan tempat, walau dalam keadaan bagaimanapun juga, sekarang mulai mengarahkan pandangan-mata kepada teman-teman yang sedang sibuk mengangkuti barang-barang rampasan. Melihat barang-barang sedemikian banyaknya, mereka tak dapat lagi menahan air liur. Bahkan khawatir kalau-kalau tak akan mendapat bagian!

Sebagian besar pasukan pemanah itu turun meninggalkan lereng gunung untuk ikut ambil bagian dalam kesibukan mengumpulkan barang-barang peninggalan musuh. Pesan Rasul Allah s.a.w. mereka lupakan. Apalagi yang harus dikerjakan, tokh peperangan sudah kita menangkan?

Begitulah fikir mereka. Pada saat itulah Khalid bin Al Walid, seorang komandan pasukan berkuda Qureiys, mengambil kesempatan untuk menyerbu dari belakang kaum muslimin yang sedang memperebutkan barang rampasan. Khalid bin Al Walid melancarkan serangan sengit. Bencana berbalik menimpa kaum muslimin.

Setelah melihat situasi berubah, orang-orang kafir Qureiys yang lari kembali lagi dan melakukan serangan dahsyat, hingga pasukan muslimin terpaksa melemparkan barang-barang dan senjata rampasan yang baru dikumpulkan. Mau tidak mau kaum muslimin sekarang harus menghunus pedang guna menangkis.

Sayang seribu sayang. Mereka hanya berjuang untuk menyelamatkan diri dari ancaman maut. Iman mereka menjadi kendor, barisan tercerai-berai, terpisah dari pimpinan Rasul Allah s.a.w. Keadaan mereka sudah sedemikian kacau dirangsek oleh serangan musuh, sehingga tak aneh kalau sampai terjadi pedang seorang muslim tanpa disengaja mengenai saudaranya sendiri.

Di saat-saat yang genting seperti itu, Imam Ali r.a. dan para sahabat lainnya segera melindungi Rasul Allah s.a.w. Dengan segenap kekuatan yang ada mereka menangkis tiap serangan yang datang, guna menyelamatkan Rasul Allah s.a.w. Semua sudah bertekad hendak mati syahid, lebih-lebih setelah melihat Rasul Allah s.a.w. terkena lemparan batu besar yang dicampakkan oleh 'Utbah bin Abi Waqqash. Akibat lemparan batu itu geraham Rasul Allah s.a.w. patah, wajahnya pecah-pecah, bibirnya luka parah, dan dua buah kepingan rantai topi besi yang melindungi wajah beliau menembus pipinya.

Setelah dapat menguasai diri kembali, Rasul Allah s.a.w. berjalan perlahan-lahan dikelilingi oleh sejumlah sahabat. Tiba-tiba beliau terperosok ke dalam sebuah liang yang sengaja digali oleh Abu 'Amir untuk menjebak pasukan muslimin. Imam Ali r.a. bersama beberapa orang sahabat lainnya cepat-cepat mengangkat beliau. Kemudian dibawa naik ke gunung Uhud untuk diselamatkan dari pengejaran musuh. Di celah-celah bukit, Imam Ali r.a. mengambil air untuk membasuh wajah Rasul Allah s.a.w. dan menyirami kepala beliau. Dua buah kepingan rantai besi yang menancap dan menembus pipi beliau dicabut oleh Abu Ubaidah bin Al Jarrah dengan giginya, sampai dua buah gigi-serinya tanggal.

Kaum musyrikin Quxeiys dengan kemenangan itu merasa sudah sungguh-sungguh berhasil menebus kekalahan dalam perang Badr. Seperti yang dikatakan oleh Abu Sufyan: "Yang sekarang ini untuk menebus peristiwa perang Badr. Sampai jumpa lagi tahun depan!"

Akan tetapi isterinya yang bernama Hindun binti 'Utbah belum merasa cukup dengan kemenangan itu. Dan belum puas kalau hanya mendengar berita tentang tewasnya Hamzah bin Abdul Mutthalib, yang telah membunuh seorang saudaranya dalam perang Badr. Bersama beberapa orang wanita lain ia mencari-cari mayat kaum muslimin. Mereka memotongi telinga dan hidung mayat-mayat itu dan dijadikan barang mainan. Tidak itu saja, mayat Hamzah dibedah perutnya, dikeluarkan jantungnya (hatinya), lalu dikunyah-kunyah, tetapi ia tak sampai dapat menelannya. Demikian kejam dan sadisnya Hindun itu, yang kemudian ditiru oleh teman-temannya, bahkan tidak sedikit pula orang lelaki musyrikin Qureiys meniru sadisme Hindun.

Dari sangat kejinya perbuatan mereka itu, sampai pemimpin mereka, yakni suaminya Hindun, yaitu Abu Sufyan tidak mau bertanggung-jawab dan berusaha mencuci-tangan. Meskipun Abu Sufyan telah mencuci-tangan, namun kekotoran dirinya tak dapat disembunyikan. Inilah kata-kata Abu Sufyan: "Mayat-mayat kalian mengalami penganiayaan. Aku sungguh tidak senang, tetapi juga tidak benci. Aku tidak memerintahkan, tetapi juga tidak melarang."

Perang Uhud benar-benar memberi pelajaran berharga kepada kaum muslimin. Daya tarik keduniaan hampir saja menghancurkan kaum muslimin yang masih pada awal pertumbuhannya.




0 Responses

Posting Komentar