lathif99

Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda, ya Rasul Allah, adalah tempat aku bernaung dan anda jugalah yang menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa, aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap untuk melamar puteri anda, Fatimah. Ya Rasul Allah, apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dengan dia?"

Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: "Saat itu kulihat wajah Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, apakah engkau mempunyai suatu bekal maskawin?'' .

"Demi Allah", jawab Ali bin Abi Thalib dengan terus terang, "Anda sendiri mengetahui bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta."

"Tentang pedangmu itu," kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib, "engkau tetap membutuhkannya untuk melanjutkan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh karena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maskawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Hai Ali engkau wajib bergembira, sebab Allah 'Azza wajalla sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!" Demikian versi riwayat yang diceritakan Ummu Salmah r.a.

Setelah segala-galanya siap, dengan perasaan puas dan hati gembira, dengan disaksikan oleh para sahabat, Rasul Allah s.a.w. mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: "Bahwasanya Allah s.w.t. memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400 dirham (nilai sebuah baju besi). Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu."

"Ya, Rasul Allah, itu kuterima dengan baik", jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu. Rumah Tangga Sederhana Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a. untuk diatur penggunaannya. Dengan persetujuan Rasul Allah s.a.w., Abu Bakar r.a. menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah untuk "biaya pesta" perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan untuk membeli perkakas dan peralatan rumah tangga.

-sehelai baju kasar perempuan;
-sehelai kudung;
-selembar kain Qathifah buatan khaibar berwarna hitam;
-sebuah balai-balai;.
-dua buah kasur, terbuat dari kain kasar Mesir (yang sebuah berisi ijuk kurma dan yang sebuah bulu kambing);
-empat buah bantal kulit buatan Thaif (berisi daun idzkir);
-kain tabir tipis terbuat dari bulu;
-sebuah tikar buatan Hijr;
-sebuah gilingan tepung;
-sebuah ember tembaga;
-kantong kulit tempat air minum;
-sebuah mangkuk susu;
-sebuah mangkuk air;
-sebuah wadah air untuk sesuci;
-sebuah kendi berwarna hijau;
-sebuah kuali tembikar;
-beberapa lembar kulit kambing;
-sehelai 'aba-ah (semacam jubah);
-dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.

Sejalan dengan itu Imam Ali r.a. mempersiapkan tempat kediamannya dengan perkakas yang sederhana dan mudah didapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke dinding lain dipancangkan sebatang kayu untuk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah rumah kediaman Imam Ali r.a. yang disiapkan guna menanti kedatangan isterinya, Sitti Fatimah Azzahra r.a.

Selama satu bulan sesudah pernikahan, Sitti Fatimah r.a. masih tetap di rumahnya yang lama. Imam Ali r.a. merasa malu untuk menyatakan keinginan kepada Rasul Allah s.a.w. supaya puterinya itu diperkenankan pindah ke rumah baru. Dengan ditemani oleh salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim, Imam Ali r.a. menghadap Rasul Allah s.a.w. Lebih dulu mereka menemui Ummu Aiman, pembantu keluarga Nabi Muhammad s.a.w. Kepada Ummu Aiman, Imam Ali r.a. menyampaikan keinginannya.

Setelah itu, Ummu Aiman menemui Ummu Salmah r.a. guna menyampaikan apa yang menjadi keinginan Imam Ali r.a. Sesudah Ummu Salmah r.a. mendengar persoalan tersebut, ia terus pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yang lain.

Guna membicarakan persoalan yang dibawa Ummu Salmah r.a., para isteri Nabi Muhammad s.a.w. berkumpul. Kemudian mereka bersama-sama menghadap Rasul Allah s.a.w. Ternyata beliau menyambut gembira keinginan Imam Ali r.a.


Suami-Isteri Yang Serasi

Sitti Fatimah r.a. dengan perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yang sangat sederhana itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup dari ayahandanya tentang apa artinya kehidupan ini. Rasul Allah s.a.w. telah mendidiknya, bahwa kemanusiaan itu adalah intisari kehidupan yang paling berharga. Ia juga telah .diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yang ditegakkan di atas fondasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam, jauh lebih agung dan lebih mulia dibanding dengan perkakas-perkakas rumah yang serba megah dan mewah.

Imam Ali r.a. bersama isterinya hidup dengan rasa penuh kebanggaan dan kebahagiaan. Duaduanya selalu riang dan tak pernah mengalami ketegangan. Sitti Fatimah r.a. menyadari, bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasul Allah s.a.w., tetapi juga isteri seorang pahlawan Islam, yang senantiasa sanggup berkorban, seorang pemegang panji-panji perjuangan Islam yang murni dan agung. Sitti Fatimah berpendirian, dirinya harus dapat menjadi tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya (Sitti Khadijah r.a.) terhadap ayahandanya, Nabi Muhammad s.a.w.

Dua sejoli suami isteri yang mulia dan bahagia itu selalu bekerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dengan kerja keras. Sitti Fatimah r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dengan tangan sendiri. Ia membuat roti, menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yang tidak ditangani dengan tenaga sendiri.

Rasul Allah s.a.w. sendiri sering menyaksikan puterinya sedang bekerja bercucuran keringat. Bahkan tidak jarang beliau bersama Imam Ali r.a. ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan Sitti Fatimah r.a.

Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yang melukiskan betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Sebuah riwayat mengemukakan: Pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. berkunjung ke tempat kediaman Sitti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yang dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya menangis, Rasul Allah s.a.w. ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau menghibur puterinya: "Fatimah, terimalah kepahitan dunia untuk memperoleh kenikmatan di akhirat kelak"

Riwayat lain mengatakan, bahwa pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. datang menjenguk Sitti Fatimah r.a., tepat: pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya: "Siapakah di antara kalian berdua yang akan kugantikan?"

"Fatimah! " Jawab Imam Ali r.a. Sitti Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya menggiling tepung bersama Imam Ali r.a. Masih banyak catatan sejarah yang melukiskan betapa beratnya penghidupan dan kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggupan Sitti Fatimah r.a. dalam menunaikan tugas hidupnya yang penuh bakti kepada suami, taqwa kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.

Ada sebuah riwayat lain yang menuturkan betapa repotnya Sitti Fatimah r.a. sehari-hari mengurus kehidupan rumah-tangganya. Riwayat itu menyatakan sebagai berikut: Pada satu hari Rasul Allah s.a.w. bersama sejumlah sahabat berada dalam masjid menunggu kedatangan Bilal bin Rabbah, yang akan mengumandangkan adzan sebagaimana biasa dilakukan sehari-hari.

Ketika Bilal terlambat datang, oleh Rasul Allah s.a.w. ditegor dan ditanya apa sebabnya. Bilal menjelaskan: "Aku baru saja datang dari rumah Fatimah. Ia sedang menggiling tepung. Al Hasan, puteranya yang masih bayi, diletakkan dalam keadaan menangis keras. Kukatakan kepadanya "Manakah yang lebih baik, aku menolong anakmu itu, ataukah aku saja yang menggiling tepung". Ia menyahut: "Aku kasihan kepada anakku". Gilingan itu segera kuambil lalu aku menggiling gandum. Itulah yang membuatku datang terlambat!"

Mendengar keterangan Bilal itu Rasul Allah s.a.w. berkata: "Engkau mengasihani dia dan Allah mengasihani dirimu!"

Hal-hal tersebut di atas adalah sekelumit gambaran tentang kehidupan suatu keluarga suci di tengah-tengah masyarakat Islam. Kehidupan keluarga yang penuh dengan semangat gotongroyong.

Selain itu kita juga memperoleh gambaran betapa sederhananya kehidupan pemimpin-pemimpin Islam pada masa itu. Itu merupakan contoh kehidupan masyarakat yang dibangun oleh Islam dengan prinsip ajaran keluhuran akhlaq. Itupun merupakan pencerminan kaidah-kaidah agama Islam, yang diletakkan untuk mengatur kehidupan rumah-tangga.



0 Responses

Posting Komentar