lathif99

Imam Ali bin Abi Thalib r.a. telah meninggal dunia. Di masa hidupnya, ia telah menempati kedudukan tinggi dan terhormat dalam kehidupan ummat manusia. Pada dirinya terhimpun nilai-nilai kebenaran, keadilan, keimanan, kepahlawanan, kebajikan dan kemuliaan.

Suatu thiraz (type) yang jarang terdapat di kalangan ummat manusia. Thiraz yang mempunyai bobot abadi dan tak mungkin ditiadakan atau terlupakan. Karena ia mencerminkan hati nurani kemanusiaan. Pada segala zaman dan di semua negeri, sejarah hidupnya selalu mengumandangkan berita tentang kesetiaan yang sangat mengagumkan terhadap kebenaran.

Baik di masa kanak-kanak, di masa muda, maupun di masa tua, ia senantiasa tetap setia kepada kebenaran. Kesetiaannya adalah kesetiaan seorang ahli ibadah, seorang prajurit, seorang patriot, seorang penguasa. Kesetiaan yang tak pernah goyah dalam segala tingkat usia, sungguh pun dalam keadaan yang berbeda-beda.

Kesetiaannya kepada kebenaran bukanlah kesetiaan yang dibuat-buat, tetapi kesetiaan fithriyyah. Kesetiaan yang berdasarkan keyakinan, bukan kesetiaan karena keinginan memperoleh manfaat. Kesetiaannya kepada kebenaran tercermin sekali dari sikapnya yang sanggup mengalahkan keduniawian dan menundukkan bujuk-rayu serta rongrongannya. Lihatlah ia menepung gandum sendiri! Lalu menggaruki ujung antan agar jangan ada sisa tepung yang ketinggalan! Ia makan roti kering bercampur katul. Ia menjauhkan diri dari istana imarah (pemerintahan) di Kufah. Ia lebih suka tinggal di gubuk terbuat dari tanah liat!

Mengapa?

Karena kesetiaannya kepada kebenaran tidak bisa disatukan dengan kemewahan duniawi! Kegemarannya yang paling besar ialah meremehkan keduniawian dan menaklukan bujuk rayunya yang sangat dahsyat. Ia tidak sudi menyentuhkan tangan pada keduniawian dan tidak tertarik sama sekali! Kepada rayuan duniawi ia senantiasa berkata tegas "Tidak!"

Setelah memegang urusan kaum muslimin, menjadi seorang Khalifah, kegemarannya itu berubah menjadi kewajiban. Ia pernah berkata: "Apakah aku harus merasa puas disebut Amirul Mukminin, sedangkan aku tidak menyertai kaum mukminin dalam masa kesusahan? Demi Allah, seandainya aku mau, aku dapat memperoleh madu murni, gandum pilihan dan pakaian serba halus. Tetapi, jauh nian aku bisa dikalahkan oleh hawa nafsu! Aku tidak sudi kekenyangan, sedang di sekitarku banyak perut kelaparan, menderita dan sengsara."

Rasul Allah s.a.w. pernah mengatakan, bahwa kemiskinan mendekatkan orang kepada kekufuran. Bertolak dari sini pulalah Imam Ali bin Abi Thalib r.a. muncul dengan sebuah kalimat cemerlang: "Seandainya kemiskinan itu berupa orang, tentu ia sudah kubunuh! "Sungguhpun Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sudah meninggal dunia, namun ia senantiasa hidup dalam semua nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkannya sepanjang umur. Ia tetap akan hidup sebagai tauladan.

Merupakan keharusan bagi kaum muslimin, terutama bagi yang masih ada keturunan darah Ahlul-Bait Rasul Allah s.a.w. untuk bertauladan dari keutamaan kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a.: kezuhudannya, kejujurannya, keadilannya, keksatriaannya, kerendahan hatinya, kedermawanannya dan sembah sujudnya kepada Allah s.w.t.

Malahan bagi keturunan Ahlul-Bait Rasul Allah s.a.w. dituntut lebih keras lagi bertauladan kepada kehidupan Imam Ali r.a. Mereka tinggal mengikuti garis yang telah ada. Akan merupakan penyimpangan, bila keturunan Ahlul-Bait Rasul Allah s.a.w. tidak berbuat demikian.

Bertauladan kepada keutamaan kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. berarti berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan, serta melawan kebathilan dan kedzaliman, dengan kata lain beramar ma'ruf nahi mungkar. Menyerukan supaya orang berbuat benar dan adil sudah merupakan satu perjuangan. Perjuangan mencegah kemungkaran, nahi mungkar, adalah lebih berat daripada menyerukan orang berbuat benar dan adil. Sebab tantangan akan muncul dari fihak yang hendak dicegah!

Sepanjang usianya enam puluh tiga tahun, Imam Ali bin Abi Thalib r.a. senantiasa ber-amar ma'ruf nahi mungkar.

Akhirnya kami tutup tulisan ini dengan kesadaran, bahwa bila terdapat kekeliruan atau kekurangan, itu adalah kekeliruan dan kekurangan kami. Sedangkan kebenaran buku ini kepada Allah s.w.t. jua kembalinya.

Wa maa taufiqi illa billah alaihi tawakkaltu wa ilaihi unib… Mudah-mudahan Allah s.w.t.

mengampuni dosa-dosa kami dan semoga Allah s.w.t., senantiasa memberi bimbingan, hidayah dan taufiq-Nya kepada kami.

Amin ya Robbal 'alamin.

0 Responses

Posting Komentar