lathif99

Perintah Ibu tidak dapat kupatuhi, dan surat Ibu tidak akan terjawab lagi. Wassalam." Menurut Abu Bikrah, ketika Asy Syi'biy menceritakan pengalamannya dalam perang "Jamal" (Unta) mengatakan, bahwa waktu Thalhah dan Zubair datang menjumpai Sitti Aisyah, kulihat semua perintah dan larangan berada di tangannya. Waktu itu aku segera teringat kepada sebuah hadits yang kudengar berasal dari Rasul Allah s.a.w. yang mengatakan: "Sesuatu kaum tidak akan berhasil jika urusannya dipimpin oleh seorang wanita."

Teringat itu aku cepat-cepat menjauhkan diri. Dalam peperangan tersebut, unta yang bernama "Askar" (yang dikendarai Siti Aisyah r.a.) merupakan lambang satu-satunya bagi pasukan Thalhah.

Waktu pasukan Thalhah dan pasukan Imam Ali r.a. masing-masing telah siaga untuk bertempur, Sitti Aisyah r.a. mengucapkan pidato. Pidatonya juga ditujukan kepada pengikut-pengikut Imam Ali r.a.: "…Kita telah bertekad hendak menuntut balas atas kematian Utsman melalui jalan kekerasan. Ia adalah seorang Amirul Mukminin, tempat bernaung dan tempat berlindung yang terbaik. Bukankah dulu kalian minta kepadanya supaya ia bersedia memenuhi keinginan kalian?

Hal itu sudah ia penuhi. Tetapi setelah kalian memandangnya sebagai orang yang suci bersih seperti baju yang baru dicuci, kemudian kalian memusuhinya. Lantas kalian berdosa dengan menumpahkan darahnya secara haram. Demi Allah, ia adalah orang yang jauh lebih bersih dan lebih bertaqwa kepada Allah dibanding kalian…!"

Hampir dalam waktu yang bersamaan, Imam Ali r.a. selaku Amirul Mukminin, juga mengucapkan pidato, sambil memberi instruksi-instruksi: "…Janganlah kalian memerangi mereka sebelum mereka menyerang lebih dulu. Alhamdulillah, kalian berada di atas hujjah (alasan) yang benar. Kalian harus berhenti memerangi mereka jika mereka mengajukan hujjah lain kepada kalian. Tetapi jika kalian terpaksa harus berperang, janganlah kalian menganiaya orang-orang yang luka parah.

"Jika kalian berhasil mengalahkan mereka, janganlah kalian mengejar mereka dengan cara-cara yang licik. Janganlah membuka hal-hal yang memalukan mereka dan janganlah sampai mencincang orang yang sudah tewas."

"Jika kalian tiba di tempat pemukiman mereka, janganlah kalian melanggar kesopanan, janganlah kalian memasuki rumah, janganlah kalian mengambil hak milik mereka walau sedikit, jangan sekali-sekali menggelisahkan dan mengganggu wanita, walau mereka itu mencaci-maki kalian atau mencerca pemimpin-pemimpin dan orang-orang shaleh yang ada di tengah-tengah kalian. Sebab mereka itu adalah manusia-manusia yang lemah jasmani, jiwa dan fikiran. Kita semua telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya supaya membiarkan kaum wanita, sekalipun mereka itu orang-orang musyrik. Jika sampai ada lelaki yang memukul mereka dengan tongkat atau dengan pelepah kurma, lelaki itu sungguh amat tercela dan akan menerima hukuman di kemudian hari…"

Sebelum salah satu fihak menyulut api peperangan, Ali bin Abi Thalib r.a. menulis sepucuk surat kepada Thalhah dan Zubair. Isinya sebagai berikut: "Kalian maklum bahwa aku tidak pernah minta dibai'at oleh mereka, tetapi mereka sendirilah yang membai'at diriku. Kalian berdua termasuk orang-orang yang memilih dan membai'a't diriku. Orang tidak membai'at diriku untuk suatu kekuasaan istimewa. Jika kalian membai'atku karena terpaksa, aku mempunyai alasan untuk bertindak terhadap kalian, sebab kalian berpura-pura taat, tetapi sebenarnya menyembunyikan rasa permusuhan. Namun jika kalian membai'atku benar-benar karena taat, hendaklah kalian segera kembali ke jalan Allah."

"Hai Zubair, engkau dahulu adalah seorang pasukan berkuda Rasul Allah s.a.w. dan pembela beliau. Dan engkau hai Thalhah, engkau adalah salah seorang kami-tua kaum Muhajirin. Seandainya dulu kalian tidak mau membai'atku, itu akan lebih mudah bagi kalian untuk keluar dari bai'at yang sudah kalian ikrarkan sendiri.

"Kalian menuduh aku telah membunuh Utsman. Padahal aku, kalian dan penduduk Madinah semua mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Kalian menuduh aku melindungi para pembunuh Utsman. Padahal anak-anak Utsman sendiri semuanya menyatakan taat kepadaku dan mengadukan orang-orang yang membunuh ayah mereka kepadaku. Tetapi kalau ternyata Utsman memang mati terbunuh karena madzlum atau dzalim, misalnya, lantas kalian berdua mau apa?! Kalian berdua telah mengikrarkan bai'at kepadaku, tetapi sekarang kalian melakukan dua perbuatan yang amat tercela: menciderai bai'at kalian sendiri dan menghasut Ummul Mukminin hingga meninggalkan rumah."

Sedang kepada Ummul Mukminin, Sitti Aisyah r.a., Imam Ali r.a. mengirim sepucuk surat. Isinya antara lain: "Bunda telah keluar meninggalkan rumah dengan perasaan marah demi Allah dan Rasul-Nya. Bunda menuntut suatu persoalan yang bukan menjadi urusan Bunda. Apa urusan kaum wanita dengan peperangan atau pertempuran? Bunda menuntut balas atas kematian Utsman, demi Allah, orang-orang yang menghadapkan Bunda kepada marabahaya serta menghasut Bunda supaya berbuat pelanggaran, jauh lebih besar dosanya terhadap diri Bunda dibanding dengan pembunuh-pembunuh Utsman bin Affan. Aku tidak marah jika Bunda tidak marah, dan aku tidak membuat kegoncangan jika Bunda tidak membuat kegoncangan. Kuharap supaya Bunda tetap bertaqwa kepada Allah dan pulang kembali ke rumah Bunda."

Sebagai jawaban terhadap surat Imam Ali r.a., Thalhah dan Zubair menulis: "Engkau telah menempuh jalan seperti yang kau tempuh sepeninggal Utsman sekarang ini; dan engkau tidak akan kembali lagi selama engkau merasa perlu menempuh jalan yang sedang kautempuh. Jalankanlah apa yang menjadi kemauanmu. Engkau tidak akan merasa puas selama kami belum taat, dan kami tidak akan taat kepadamu untuk selama-lamanya. Lakukanlah apa saja yang hendak kau perbuat."

Sedangkan Ummul Mukminin, Sitti Aisyah r.a. hanya menulis jawaban singkat: "Persoalannya sudah jelas. Engkau tidak perlu menyalahkan lagi. Wassalam." Perang Unta Sekalipun sebenarnya peperangan sudah tak dapat dihindarkan lagi, namun Imam Ali r.a. masih tetap berusaha untuk dapat mencegah berkobarnya peperangan sesama muslimin. Ia teringat kenangan lama yang indah, ketika bersama Thalhah dan Zubair berjuang bahu membahu menegakkan Islam di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w.

Imam Ali r.a. berusaha bertemu muka dengan dua tokoh bekas sahabatnya, yang saat itu telah mengangkat senjata untuk menentangnya. Pada pertemuan muka dengan Thalhah, Imam Ali r.a. berkata: "Sahabatku Thalhah! Engkau menyimpan isterimu sendiri di rumahmu, tetapi engkau datang ke tempat ini membawa isteri Rasul Allah s.a.w. Dengan mempergunakan diakah engkau berperang?"

Pertanyaan Imam Ali r.a. ini nampaknya sangat mengenai hati Thalhah. Ia tak bias menjawabnya sama sekali dan hanya dapat menundukkan kepala untuk kemudian pelan-pelan menarik diri dari barisan yang dipimpinnya.

Ketika Marwan bin Al-Hakam melihat Thalhah memisahkan diri dari pasukan dan meninggalkan medan pertempuran (ia tergabung dalam pasukan Thalhah), segera mengikuti sambil berkata: "Demi Allah, aku tak akan melepaskan tekadku untuk menebus darah Utsman. Aku tidak akan membiarkan dia (Thalhah) lolos. Akan kubunuh dia, karena dia juga turut membunuh Utsman!"

Beberapa saat kemudian ia membidikkan anak panahnya ke arah Thalhah. Ketika anak panah itu lepas dari busurnya, lambung Thalhah menjadi sasaran. Gugurlah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. tertembus panah yang dilepaskan oleh anggota pasukannya sendiri. Sementara itu ketika Imam Ali r.a. berhasil bertemu muka dengan Zubair, ia bertanya: "Hai Abdullah, apakah yang mendorongmu sampai datang ke tempat ini?"

"Untuk menuntut balas atas kematian Utsman," jawab Zubair dengan terus terang.

"Engkau menuntut balas atas kematian Utsman?" tanya Imam Ali r.a. menanggapi jawaban Zubair tadi. "Allah mengutuk orang yang membunuhnya! Hai Zubair, engkau kuingatkan. Ingatkah dahulu ketika engkau berjalan bersama Rasul Allah s.a.w. waktu itu beliau bertopang pada tanganmu, melewati aku, kemudian beliau tersenyum padaku, lalu menoleh kepadamu sambil berkata: "Hai Zubair, engkau kelak akan memerangi Ali secara dzalim!"

"Oh, ya," jawab Zubair, setelah beberapa saat mengingat-ingat.

"Mengapa engkau sekarang memerangi aku?" tanya Imam Ali r.a. pula.

"Demi Allah," sahut Zubair, "aku lupa. Seandainya aku ingat aku tidak akan keluar untuk memerangimu."

Selesai mengucapkan kata-kata itu, Zubair cepat-cepat keluar meninggalkan pasukan dengan air mata membasahi pipi. Tetapi malang bagi Zubair. Salah seorang anggota pasukan Imam Ali yang bernama Ammar bin Jarmuz ketika melihat Zubair terpisah dari pasukannya, segera diikuti dan kemudian dibunuh.



0 Responses

Posting Komentar