lathif99

Kalian akan diwakili oleh Abdullah bin Abbas. Biarlah dia yang menghadapi Amr. Abdullah mampu mengatasi kesulitan yang akan dihadapkan oleh Amr kepadanya, sedangkan Amr tidak akan sanggup mengatasi kesulitan yang akan dihadapkan oleh Abdullah kepadanya. Abdullah mampu menangkis hujjah-hujjah yang diajukan oleh Amr, sedangkan Amr tidak akan mampu menangkis hujjah-hujjah yang diajukan oleh Abdullah!"

Al Asy'ats tetap berkeras kepala. Ia berganti dalih: "Demi Allah, tidak…! Sampai kiyamat pun masalah tahkim itu tidak boleh dirundingkan oleh dua orang sama-sama berasal dari Bani Mudhar. Angkatlah orang yang dari Yaman (Abu Musa), sebab mereka sudah mengangkat orang dari Mesir (Amr)…!"

Imam Ali mengingatkan: "Aku khawatir kalu-kalau kalian akan terkelabui. Sebab kalau Amr sudah menuruti hawa nafsunya dalam urusan tahkim itu, ia sama sekali tidak takut kepada Allah!"

Dengan bersitegang leher Al Asy'ats berkata: "Demi Allah, kalau salah seorang dari dua perunding itu berasal dari Yaman, lalu mengambil beberapa keputusan yang tidak menyenangkan kita, itu lebih baik bagi kita daripada kalau dua orang perunding itu sama-sama berasal dari Bani Mudhar, walau mereka ini mengambil beberapa keputusan yang menyenangkan kita!"

Imam Ali r.a. minta ketegasan terakhir: "Jadi…, kalian tidak menghendaki selain Abu Musa?"

"Ya!" jawab Al Asy'ats.

"Kalau begitu, kerjakanlah apa yang kalian inginkan!" kata Imam Ali r.a. dengan hati masgul.

Beberapa orang pengikut Imam Ali r.a. kemudian berangkat untuk menemui Muawiyah guna mengadakan persetujuan tertulis mengenai prinsip disetujuinya tahkim oleh kedua belah fihak.

Wakil fihak Kufah (Imam Ali r.a.) menuliskan dalam teks perjanjian sebuah kalimat: "Inilah yang telah disetujui oleh Amirul Mukminin…"

Baru sampai di situ Muawiyah cepat-cepat memotong: "Betapa jeleknya aku ini, kalau aku mengakui dia sebagai Amirul Mukminin tetapi aku memerangi dia!"

Amr bin Al Ash menyambung: "Tuliskan saja namanya dan nama ayahnya. Dia itu Amir (penguasa) kalian dan bukan Amir kami!"

Wakil-wakil fihak Kufah kembali menghadap Imam Ali r.a. untuk minta pendapat mengenai penghapusan sebutan "Amirul Mukminin". Ternyata Imam Ali r.a. memerintahkan supaya sebutan itu dihapus saja dari teks perjanjian. Tetapi Al Ahnaf cepat-cepat mengingatkan: "Sebutan Amirul Mukminin jangan sampai dihapus. Kalau sampai dihapus, aku khawatir pemerintahan (imarah) tak akan kembali lagi kepadamu untuk selama-lamanya. Jangan..., jangan dihapus, walau peperangan akan berkecamuk terus!"

Setelah mendengar naselat Al Ahnaf itu untuk beberapa saat lamanya Imam Ali r.a. berfikir hendak mempertahankan sebutan "Amirul Mukminin" dalam teks perjanjian, tetapi keburu Al Asy'ats datang lagi dan mendesak supaya sebutan itu dihapuskan saja. Dengan perasaan amat kecewa Imam Ali r.a. berucap: "Laa llaaha Illahllaah . . . Allaahu Akbar!

Sunnah yang dulu sekarang disusul lagi dengan sunnah baru. Demi Allah, bukankah persoalan seperti itu dahulu pernah juga kualami? Yaitu waktu diadakan perjanjian Hudaibiyyah?!

"Waktu itu atas perintah Rasul Allah s.a.w. aku menulis dalam teks perjanjian "Inilah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad Rasul Allah dan Suhail bin Amr." Ketika itu Suhail berkata: "Aku tidak mau menerima teks yang berisi tulisan 'Rasul Allah'. Sebab kalau aku percaya bahwa engkau itu Rasul Allah, tentu aku tidak akan memerangimu! Adalah perbuatan dzalim kalau aku melarangmu bertawaf di Baitullah, padahal engkau itu adalah Rasul Allah! Tidak, tuliskan saja 'Muhammad bin Abdullah', baru aku mau menerimanya…!"

"Waktu itu Rasul Allah memberi perintah kepadaku: 'Hai Ali, aku ini adalah Rasul Allah dan aku pun Muhammad bin Abdullah. Teks perjanjian dengan mereka yang hanya menyebutkan Muhammad bin Abdullah tidak akan menghapuskan kerasulanku. Oleh karena itu tulis saja Muhammad bin Abdullah !' Waktu itu beberapa saat lamanya aku dibuat bingung oleh kaum musyrikin. Tetapi sekarang, di saat aku sendiri membuat perjanjian dengan anak-anak mereka, pun mengalami hal-hal yang sama seperti yang dahulu dialami oleh Rasul Allah s.a.w.…"

Teks perjanjian itu akhirnya ditulis juga tanpa menyebut kedudukan Imam Ali r.a. sebagai Amirul Mukminin. Al Asytar kemudian dipanggil untuk menjadi saksi. Sebagai reaksi Al Asytar berkata pada Imam Ali: "Anda akan kehilangan segala-galanya bila perjanjian ditulis seperti itu.

Bukankah anda ini berdiri di atas kebenaran Allah? Bukankah anda ini benar-benar yakin bahwa musuhmu itu orang yang memang sesat? Kemudian ia berkata kepada mereka: "Apakah kalian tidak melihat kemenangan sudah diambang pintu seandainya kalian tidak berteriak minta belas kasihan kepada musuh?!"
Al Asy'ats menyahut: "Demi Allah, aku tidak melihat kemenangan dan tidak pula meminta belas kasihan kepada musuh. Ayohlah berjanji, bahwa engkau akan taat! Akuilah apa yang tertulis dalam teks perjanjian ini!"

Al Asytar menjawab: "Demi Allah, dengan pedangku ini Allah telah menumpahkan darah orangorang yang menurut penilaianku lebih baik daripada engkau, dan aku tidak menyesali darah mereka! Aku hanya mau mengikuti apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin. Apa yang diperintahkan, akan kulaksanakan, dan apa yang dilarang akan kuhindari, sebab perintahnya selalu benar dan tepat!"

Pada saat itu datanglah Sulaiman bin Shirid menghadap Amirul Mukminin, sambil membawa seorang yang luka parah akibat pukulan pedang. Waktu Imam Ali r.a. menoleh kepada orang yang luka parah itu, Sulaiman berkata mengancam: "Ada orang yang sudah menjalani nasibnya dan ada pula yang sedang menunggu nasib! Dan... engkau termasuk orang-orang yang sedang menunggu nasib seperti orang ini!"

Ada lagi yang datang menghadap, lalu berkata: "Ya Amirul Mukminin, seandainya engkau masih mempunyai orang-orang yang mendukungmu, tentu engkau tidak akan menulis teks perjanjian seperti itu. Demi Allah, aku sudah berkeliling ke sana dan ke mari untuk mengerahkan orang-orang supaya mau melanjutkan peperangan. Tetapi ternyata hanya tinggal beberapa gelintir saja yang masih sanggup melanjutkan peperangan!"

Ada orang lain lagi datang menghadap, lalu berkata: "Ya Amirul Mukminin, apakah tidak ada jalan untuk membatalkan perjanjian itu? Demi Allah, aku sangat khawatir kalau-kalau perjanjian itu akan membuat kita hina dan nista!"

Imam Ali r.a. menjawab: "Apakah kita akan membatalkan perjanjian yang sudah ditulis itu? Itu tidak boleh terjadi!"

Imam Ali r.a. terpaksa menyetujui adanya perjanjian dengan Muawiyah mengenai prinsip penyelesaian damai berdasarkan hukum Al Qur'an. Banyak di antara pengikutnya yang merasa kecewa dan menyesal, tetapi sikap tersebut sudah terlambat. Karena sangat kecewa dan menyesal, mereka lalu berteriak kepada semua orang di mana saja: "Tiada hukum selain hukum Allah! Hukum di tangan Allah dan bukan di tanganmu, hai Ali! Kami tidak rela ada orang-orang yang akan menetapkan hukum terhadap agama Allah! Hukum Allah bagi Muawiyah dan pengikut-pengikutnya sudah jelas, yaitu mereka harus kita perangi atau harus kita tundukkan kepada pemerintahan kita! Kita telah terperosok dan tergelincir pada saat kita menyetujui tahkim! Sekarang kita telah bertaubat dan tidak mau lagi mengakui perjanjian itu! Dan engkau, hai Ali, tinggalkanlah perjanjian itu dan bertaubatlah kepada Allah seperti yang sudah kita lakukan. Kalau tidak, kita tidak turut bertanggung jawab!"

Imam Ali r.a. bukanlah orang yang biasa menciderai perjanjian, walau perjanjian itu akan mengakibatkan dirinya harus menanggung resiko kedzaliman orang lain. Kepada orang-orang yang menuntut supaya ia menciderai perjanjian dan segera bertaubat, ia menjawab: "Celakalah kalian! Apakah setelah kita sendiri mau menyetujui perjanjian itu lantas sekarang harus berbuat cidera? Bukankah Allah telah memerintahkan supaya kita menjaga baik-baik dan memenuhi perjanjian? Bukankah Allah telah berfirman (yang artinya): "Tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat" (S. An Nahl: 91).

Beberapa hari setelah peperangan berhenti, dalam salah satu khutbahnya Imam Ali r.a. berkata: "Perintahku masih kalian ikuti terus seperti yang kuinginkan sampai saat kalian dilanda perpecahan fikiran. Demi Allah, kalian tahu bahwa peperangan itu sama sekali tidak menghilangkan kekhalifahanku. Itu masih tetap ada. Bahkan peperangan itu sebenarnya lebih memporak-porandakan musuh kalian. Di tengah-tengah kalian, kemarin aku masih memerintah, tetapi hari ini aku sudah menjadi orang yang diperintah. Kemarin aku masih menjadi orang yang bisa melarang, tetapi hari ini aku menjadi orang yang dilarang. Kalian ternyata sudah menjadi orang-orang yang lebih menyukai hidup, dan aku tidak dapat lagi mengajak kalian kepada apa yang tidak kalian sukai…"




0 Responses

Posting Komentar