lathif99

Penyimpangan Abu Musa

Beberapa bulan kemudian, bertemulah dua orang perunding di sebuah tempat yang letaknya tidak jauh dari Shiffin. Amr bin Al Ash mewakili Muawiyah, dan Abu Musa Al Asy'ariy mewakili Imam Ali r.a. Dalam perundingan itu Amr dengan gigih bertahan membela Muawiyah, sedangkan Abu Musa berpendirian "asal damai" dan "asal selamat". Dengan berbagai siasat dan muslihat, akhirnya Amr berhasil menyeret Abu Musa kepada suatu konsepsi yang meniadakan kekhalifahan Imam Ali r.a.

Berdasarkan prinsip "asal damai" dan "asal selamat", Abu Musa mengusulkan supaya fihak Amr bersedia menerima Abdullah bin Umar Ibnul Khattab sebagai calon Khalifah yang akan menggantikan Imam Ali. Usul Abu Musa itu dijawab oleh Amr: "mengapa anda tidak mengusulkan anak lelakiku yang bernama Abdullah? Anda kan tahu sendiri anakku itu seorang yang shaleh!"

Pembicaraan berlangsung terus. Setelah lama berunding akhirnya dua orang itu sepakat untuk memberhentikan Imam Ali r.a. sebagai Khalifah dan memberhentikan Muawiyah sebagai pemimpin di Syam dan menyerahkan kepada ummat Islam untuk memilih Khalifah lain yang disukainya.

Begitu licinnya Amr mengelabui Abu Musa, sampai Abu Musa sendiri merasa adil dalam melaksanakan tugas sebagai wakil Imam Ali r.a. Selain itu Abu Musa sedikit pun tidak mempunyai kecurigaan bahwa Amr akan menyimpang dari kesepakatan. Selesai berunding, Amr dan Abu Musa sepakat akan mengumumkan hasil perundingan itu di depan khalayak ramai. Untuk merealisasinya, oleh Amr diminta kepada Abu Musa supaya lebih dulu mengumumkan pemberhentian Imam Ali, kemudian barulah Amr akan mengumumkan pemberhentian Muawiyah. Seperti orang terkena sihir Abu Musa mengiakan saja apa yang diminta oleh Amr, kendatipun ia telah diperingatkan oleh Ibnu Abbas agar jangan bicara lebih dulu.

Di depan orang banyak Abu Musa mengumumkan, bahwa dua orang perunding telah bersepakat untuk memberhentikan imam Ali dan Muawiyah, demi kerukunan dan perdamaian di antara kaum muslimin. Setelah memberi penjelasan sedikit, dengan lantang Abu Musa berkata: "Sekarang aku menyatakan pemberhentian Ali sebagai Khalifah!"

Selesai Abu Musa, tampillah Amr bin Al Ash. Ia tidak berbicara seperti Abu Musa. Ia tidak mengumumkan bahwa dua orang perunding telah sepakat memberhentikan Imam Ali dan Muawiyah. Amr hanya mengatakan: "Abu Musa tadi telah menyatakan dengan resmi pemberhentian Ali bin Abi Thalib dari kedudukannya sebagai Khalifah. Mulai saat ini ia tidak lagi menjadi Khalifah! Sekarang aku mengumumkan bahwa aku mengukuhkan kedudukan Muawiyah sebagai Khalifah, pemimpin kaum muslimin!"

Mendengar kata-kata Amr, Abu Musa sangat marah. Ia tak mungkin lagi menjilat ludah yang suda jatuh. Abu Musa pergi meninggalkan tempat perundingan. Sejak itu namanya tidak pernah disebut-sebut lagi dalam sejarah. Beberapa waktu sebelum Abu Musa menghilang, ia masih menerima sepucuk surat dari Abdullah bin Umar Ibnul Khattab, sebagai reaksi terhadap usul pencalonannya, yang diucapkan Abu Musa dalam perundingan. Surat Abdullah tersebut sebagai berikut: "Hai Abu Musa, engkau membawa-bawa diriku ke dalam persoalan yang engkau sendiri tidak mengetahui bagaimana fikiranku mengenai hal itu. Apakah engkau mengira bahwa aku akan bersedia mencampuri urusan yang engkau mengira aku ini lebih terkemuka dibanding Ali bin Abi Thalib? Bukankah sudah sangat jelas bahwa ia jauh lebih baik daripada diriku? Engkau sungguh sia-sia, dengan begitu engkau sendirilah yang menderita rugi. Aku sama sekali bukan orang yang mengambil sikap permusuhan. Engkau benar-benar telah membuat marah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah karena ucapanmu mengenai diriku.

"Lebih-lebih Ali bin Abi Thalib, karena melihat engkau telah tertipu oleh Amr. Padahal engkau itu seorang pengajar Al Qur'an, seorang yang pernah menjadi utusan penduduk Yaman untuk menghadap Rasul Allah s.a.w., seorang yang pernah diberi kepercayaan membagi-bagikan ghanimah pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar. Ternyata sekarang telah tertipu oleh ucapan-ucapan Amr bin Al Ash, sampai engkau lancang dan memecat Ali sebelum memecat Muawiyah!"

Menanggapi surat Abdullah bin Umar Ibnul Khattab tersebut, Abu Musa menulis: "Aku bukannya hendak mendekatimu dengan jalan mendudukkan dirimu atau membai'atmu sebagai Khalifah. Yang kuinginkan hanyalah keridhoan Allah s.w.t. Kesediaanku memikul tugas ummat ini bukan suatu hal yang buruk atau tercela. Sebab ummat ini seolah-olah sedang berada di ujung pedang. Selama hidup sampai mati aku akan tetap mengatakan, bahwa yang kuinginkan ialah agar ummat ini selalu damai. Sebab jika tidak, ummat ini tidak akan dapat kembali kepada kebesaran semula."

Seterusnya Abu Musa mengatakan: "Adapun mengenai ucapanku tentang dirimu yang dapat membuat marah Ali dan Muawiyah, sebenarnya dua orang itu sudah lebih dulu marah kepadaku. Tentang tipu muslihat Amr terhadap diriku, demi Allah, tipu muslihatnya itu tidak merugikan Ali bin Abi Thalib dan juga tidak menguntungkan Muawiyah. Sebab syarat yang sudah kami tetapkan bersama ialah, bahwa kami hanya terikat oleh apa yang sudah disepakati bersama, dan bukan terikat oleh apa yang kami perselisihkan. Adapun mengenai apa yang engkau dilarang melakukannya oleh ayahmu, demi Allah, seandainya persoalan ini dapat diselesaikan, engkau akan terpaksa menerimanya!"

Dari surat jawaban Abu Musa kepada Abdullah itu jelaslah, bahwa Abu Musa benar-benar fikirannya dicekam rasa rindu perdamaian. Dan demi perdamaian ia tidak segan-segan menyimpang jauh dari tugas yang dipikulnya dan rela menjebloskan pemimpinnya sendiri.


0 Responses

Posting Komentar