lathif99

Ksatria

Kesatriaan dan keperwiraan Imam Ali r.a. bukan dibuat-buat, melainkan sudah menjadi sifat dan tabiatnya sendiri. Hal itu ditumbuhkan dan diperkuat oleh lingkungan hidupnya sejak kecil dan oleh ajaran serta tauladan yang diterimanya langsung dari Rasul Allah s.a.w. Ia bukan orang yang suka mabok kemenangan dan bukan pula seorang pedendam. Ketangguhan dan ketangkasannya sebagai pelaku perang-tanding yang banyak disegani orang, sama sekali tidak membuatnya besar kepala. Ia tidak pernah mulai mengajak berkelahi atau berduel, apalagi menantang-nantang. Bahkan dalam menghadapi saat-saat gawat, masih tetap berusaha agar pertumpahan darah dapat dihindarkan.

Ada orang yang menilai sikapnya itu sebagai tanda kelemahan. Ada pula yang menafsirkannya sebagai tanda kegentaran. Penilaian dan penafsiran itu tidak tepat sama sekali. Sikap Imam Ali r.a. semacam itu benar-benar keluar dari hati yang tulus ikhlas. Kemanusiaannya sangat tinggi.

Lawan yang ditundukkannya diperlakukan dengan sikap manusiawi dan dihormati sesuai dengan harkat martabatnya sebagai manusia.

Kepada puteranya sendiri, Al Hasan r.a., tidak jemu jemunya ia berpesan agar jangan sekalikali menantang orang berkelahi atau berperang-tanding. "Tetapi jika orang itu menantang, jawab tantangan itu dan hadapilah. Seba orang yang berbuat seperti itu ialah orang dzalim, dan tiap orang dzalim wajib dilawan," demikian ujar Imam Ali r.a. dengan tandas.

Sering juga orang tidak dapat memahami sifat keksatriaannya. Bagi para ahli perang modern, pendirian Imam Ali r.a. itu dianggap tidak tepat. Sebab, menurut faham mereka, pertahanan yang terbaik ialah melancarkan serangan mengejutkan terhadap lawan. Tetapi watak keksatriaan Imam Ali r.a. tidak seperti itu. Ia hanya akan menyerang bila benar-benar sudah diserang. Jadi serangan hanya dipandang sebagai langkah mempertahankan diri.

Ketika salah seorang sahabatnya menyaksikan persiapan kaum Khawarij dan kemudian
dilaporkannya kepada Imam Ali r.a. dan disertai usul supaya mendahului gerakan musuh dengan suatu serangan kilat; Imam Ali r.a. dengan tegas mengatakan: "Aku tidak mau menyerang mereka sebelum mereka melancarkan serangan lebih dahulu terhadap kita. Biarlah mereka berbuat lebih dulu." Padahal secara normal usul sahabatnya itu tepat dan benar.

Peristiwa yang sama juga terjadi sebelum itu. Ialah dalam "Perang Unta". Demikian juga dalam perang Shiffin. Mengawali pecahnya peperangan antar sesama kaum muslimin itu, Imam Ali r.a. selalu berusaha lebih dulu agar dapat diciptakan perdamaian, selagi masih ada peluang untuk itu, betapa pun kecilnya. Jalan inilah yang menurut Imam Ali r.a. sebaiknya harus ditempuh.

Prinsip ini olehnya dipegang teguh. Tidak pandang apakah yang sedang dihadapinya itu perang terbuka atau terselubung, besar atau kecil. Ia selalu mengajak lawan untuk memecahkan persengketaan dan pertikaian melalui jalan damai. Kepada pasukannya ia pun memerintahkan supaya tidak mengambil tindakan lebih dulu yang akan mengakibatkan bencana jatuhnya banyak korban.

Pada dasarnya ia tidak menghunus pedang sebelum menyerukan perdamaian kepada lawan lebih dulu. Tetapi sikapnya yang seperti itu bukannya tidak dilandasi dengan kesiap-siagaan di kalangan pasukannya. Inilah rupanya yang menjadi rahasia keunggulannya dalam menghadapi peperangan demi peperangan.

Satu contoh tentang keksatriaannya yang sangat menarik ialah pada waktu menghadapi kaum Khawarij. Orang-orang Khawarij yang terkenal sangat benci kepada Imam Ali r.a., pada satu ketika berteriak mengkafirkan dan memaki-maki dirinya. Imam Ali r.a. tetap tenang dan dengan lapang dada menghadapi semuanya itu. Sedangkan pasukannya sudah tak tahan lagi mendengar pimpinannya dihina orang. Mereka bangkit hendak melancarkan serangan serentak.

Tetapi dengan cepat Imam Ali r.a. berteriak untuk menghentikan niat mereka: "Jangan! Itu hanya sekedar makian! Kita harus menjawab mereka dengan memberi maaf!" Demikian perintahnya. Kebijaksanaan seperti itu ada kalanya menimbulkan salah faham dan gerutu dalam pasukannya sendiri. Ya, itulah Imam Ali r.a., seorang pemimpin yang berjiwa besar lagi arif bijaksana. Imam Ali r.a. tersohor sebagai pendekar perang dan tangkas dalam perang-tanding. Namun ia benar-benar baru mau mengangkat senjata bila telah terpaksa harus mempertahankan diri. Bila sudah sampai ke tingkat itu, maka tinggal dua pilihan saja bagi dirinya, ia mati di tangan lawan, atau lawan yang harus mati di tangannya. Berlandaskan ketenangan dan kemantapan.


0 Responses

Posting Komentar