lathif99

Pada satu malam, di kala Abdul Mutthalib sedang tidur, jiwanya yang putih bersih menyongsong suara orang berseru: "Galilah Thaibah!" Abdul Mutthalib terjaga. Ia tak mengerti takwil mimpinya. Pada malam berikutnya orang yang bersuara itu muncul kembali dalam mimpi.


"Galilah barrah!".

Abdul Mutthalib terbangun. Ia masih tak dapat memahami apa yang harus dilakukan. Pada malam ketiga, sekali lagi ia mendengar suara itu di dalam mimpi: "Galilah Zamzam!" Abdul Mutthalib bertanya: "Apakah arti Zamzam?" orang yang berseru itu menjelaskan: "Ia tidak kunjung kering dan tak berkurang airnya, sanggup memberi minum kepada jemaah haji betapa pun besar jumlahnya!" Kemudian ditunjukkan tempatnya.

Pagi-pagi buta, dengan disertai puteranya, Al Harits, ia berangkat menuju letak sumur yang ditunjuk dalam mimpi. Bersama puteranya ia bekerja menggali. Tak lama kemudian memancar air dari sumber yang abadi. Sebenarnya tempat itu dahulunya merupakan sumur. Hanya dalam kurun waktu yang panjang telah tertimbun oleh batu-batu besar dan pasir. Dahulu kala sumur itu merupakan kurnia Allah s.w.t. kepada Nabi Isma'il a.s. bersama bundanya.

Abdul Mutthalib atau Syaibah (nama aslinya) adalah seorang yang mempunyai type cemerlang. Sukar ditemukan bandingannya. Keharuman namanya menjadi buah bibir orang di segenap penjuru gurun sahara Semenanjung Arabia. Karena banyak pekerjaan terpuji yang dilakukannya, sehingga ia disebut dengan nama panggilan "Syaibatul Hamd". Bahkan banyak yang menyebutnya sebagai "Pemberi makan manusia di dataran dan pengumpan margasatwa di pegunungan!"

Abdul Mutthalib seorang yang memiliki kebijaksanaan yang luas dan iman yang dalam. Hal ini tercermin dengan jelas, tatkala Abrahah datang ke Makkah membawa pasukan yang luar biasabesarnya guna menghancurkan Ka'bah. Setelah Abdul Mutthalib mengetahui bahwa kaumnya tidak sanggup menghadapi pasukan penyerbu, maka diperintahkan supaya masing-masing pergi mengungsi ke daerah-daerah pegunungan. Tinggalkan kota Makkah sebagai kota kosong. Anak dan isteri serta hak miliknya masing-masing supaya dibawa. Mengenai keselamatan Ka'bah diserahkan kepada Pemilik rumah suci itu.

Pada suatu hari, Abdul Mutthalib pergi menemui Abrahah. Ketika Abdul Mutthalib ditanya oleh Abrahah tentang maksud kedatangannya, Abdul Mutthalib dengan tegas menjawab: "Aku dating kepada tuan untuk meminta kembali unta-untaku yang tuan ambil."

Abrahah menyatakan keheranannya karena Abdul Mutthalib sebagai penguasa Makkah tidak memikirkan Ka'bah yang akan dihancurkannya itu, tetapi hanya memikirkan unta-untanya saja.

Guna menghilangkan keheranan Raja Yaman itu, Abdul Mutthalib dengan jelas mengatakan, bahwa unta-unta yang kalian ambil adalah milikku, sedang Ka'bah yang hendak dihancurkan itu mempunyai pemiliknya sendiri yang akan melindungi keselamatannya.

Itulah pendirian seorang yang benar-benar berketuhanan. Seorang yang hidup di tengah-tengah gelombang penyembahan berhala. Jiwa dan hati nuraninya dikuasai sepenuhnya oleh perasaan halus yang tersembunyi, yang mengakui dengan haqqul yakin, bahwa di sana terdapat Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Agung dan Maha Kuasa.

Kemurnian iman Abdul Mutthalib tampak jelas sekali. Walaupun ia tahu, bahwa di sekitar Ka'bah bercokol 300 buah lebih berhala, tidak kepada sebuah berhala pun ia meminta pertolongan guna menyelamatkan Ka'bah. Ia tidak meminta kepada si Hubal, tidak kepada Laat dan tidak pula kepada si Uzza! Meskipun tidak ada jarak pemisah antara berhala-berhala itu dengan Ka'bah, Abdul Mutthalib sama sekali tidak sudi meminta sesuatu kepada patung sembahan jahiliyah itu!

Tidak lain ia hanya memohon kepada Allah, tunduk dan khusuk kepada-Nya, serta hanya mau berlindung kepada Yang Maha Agung dan Maha Tinggi, sesuai dengan isyarat yang diberikan oleh perasaan halus yang tersembunyi di dalam hati nuraninya: "Ya Tuhan, tiap orang mempertahankan rumahnya, oleh karena itu pertahankanlah Rumah-Mu!" Alangkah sederhana dan mantapnya doa seperti itu.

Doa Abdul Mutthalib ternyata bukan seperti melempar batu ke lubuk. Pukulan yang mematikan dialami oleh balatentara Abrahah. Dengan suatu "pasukan" yang paling lemah berupa burung-burung Ababil, Allah s.w.t. menghancurkan mereka. Burung-burung menyebarkan maut di kalangan balatentara Abrahah. Bangkai mereka bergelimpangan menjadi cerita sejarah.
Sifat pasrah diri Abdul Mutthalib kepada Allah seperti di atas seakan-akan kekanak-kanakan. Sungguh tidaklah demikian. Pasrah diri Abdul Mutthalib bukan pasrah diri orang yang sama sekali tak berdaya, melainkan karena keyakinan imannya, bahwa di sana ada Allah Maha Kuasa, Tuhan yang senantiasa berada di belakang setiap gerak dan perbuatan. Abdul Mutthalib yakin, sesuatu yang tak dapat dilaksanakan dengan kekuatan kebajikan yang ada pada manusia akan ditentukan persoalannya oleh Dia sendiri Yang Maha Kuasa. Sungguh, suatu kepasrahan yang sangat polos, indah dan murni.

Melalui Abdul Mutthalib Allah s.w.t. melimpahkan kemudahan dan keberkahan kepada penduduk Makkah. Lebih dari satu kali langit dan udara Makkah sedemikian gersangnya. Tidak setetes air hujan pun yang turun membasahi bumi. Hampir saja penduduk mati kekeringan dan dilanda paceklik amat berat. Pada saat yang berat itu, penduduk mendatangi Abdul Mutthalib.

Abdul Mutthalib mengajak mereka berbondong-bondong menuju sebuah puncak bukit. Di puncak bukit itulah dengan khusyu' Abdul Mutthalib berdoa: "Ya Tuhan, mereka itu adalah hamba-hamba-Mu. Engkau mengetahui apa yang sedang menimpa kami semua. Oleh karena itu jauhkanlah kegersangan dari kami, turunkanlah hujan membawa rahmat dan berkah, menumbuhkan tetanaman, memberi kehidupan dan penghidupan."

Iman Abdul Mutthalib kelihatannya memang lain dari yang yang lain. Iman seorang yang hidup di masa penyembahan berhala masih menjadi agama peribadatan di mana-mana. Namun Abdul Mutthalib mengenal Allah melalui setiap nikmat yang terlimpah kepadanya dan dari tiap langkah yang berhasil ditempuhnya.

Ketika ia mendengar kelahiran cucunya, Nabi Muhammad s.a.w., segera diemban dan dibawa masuk ke dalam Ka'bah. Disana ia memanjatkan puji syukur dalam bentuk syair:
"Puji syukur bagi Allah yang mengaruniakan kepadaku,
seorang anak yang baik susunan bentuknya ini,
selagi dalam buaian ia mengungguli anak yang lain.
Ia kulindungkan pada Tuhan Maha Perkasa
sampai kusaksikan masa dewasanya."

Abdul Mutthalib ditunjukkan oleh penglihatan batinnya sendiri, sehingga dapat mengetahui bahwa anak yang baru lahir itu akan memainkan peranan besar di kemudian hari. Oleh karena itu ia mencintai Nabi Muhammad s.a.w. melebihi kecintaan yang diberikannya kepada siapapun.

Tiap kali Abdul Mutthalib bertemu dengan Abu Thalib, tangan puteranya itu selalu ditarik, kemudian dilekatkan pada tangan cucunya, Nabi Muhammad s.a.w., sambil berkata: "Hai Abu Thalib, di kemudian hari anak ini akan mempunyai kedudukan, oleh karena itu jagalah dia baik-baik.

Jangan kaubiarkan ada sesuatu yang tidak baik menyentuhnya!"

Amanat ayahnya dipenuhi dengan baik oleh Abu Thalib. Ia jaga dan pelihara putera saudaranya itu sebagaimana mestinya. Ia mengasuh anak itu sesuai dengan kematangan berfikirnya, ketinggian martabat keturunannya dan kebesaran sifat keutamaannya.

Abdul Mutthalib adalah datukanda Nabi Muhammd s.a.w., juga datukanda Imam Ali r.a. Setelah keluarga besar itu ditinggal wafat oleh Abdul Mutthalib dan Abu Thalib, Imam Ali r.a. sebagai cucu Abdul Mutthalib dan putera Abu Thalib mewarisi budi pekerti luhur dan kebesaran jiwa yang sukar ditemukan bandingannya. Ia benar-benar mewarisi dua hal sekaligus: akhlaq utama dan darah mulia.


0 Responses

Posting Komentar