lathif99

Abu Thalib bukan hanya mengenal kebenaran Nabi Muhammad s.a.w., tetapi juga mengenal pribadi beliau dengan baik. Ia paman beliau, pengasuh dan pemelihara beliau sejak kanak-kanak sampai dewasa. Dalam waktu yang amat panjang, Abu Thalib menyaksikan sendiri bagaimana praktek kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. sehari-hari. Abu Thalib rindu sekali ingin melihat hakekat kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Hatinya pedih dan kesal menyaksikan kaumnya menyia-nyiakan akal fikiran dan hidup mereka di depan tumpukan batu, yang dianggapnya sebagai sesembahan dan tuhan-tuhan.

Dengan tangguh Abu Thalib menghadapi tantangan-tantangan kafir Qureiys serta menggagalkan rencana-rencana jahat yang mereka tujukan terhadap Rasul Allah s.a.w. Ketika orang-orang kafir Qureiys sudah merasa putus asa dan tidak sanggup lagi membendung da'wah risalah Nabi Muhammad s.a.w., dan tidak berdaya lagi menggertak Abu Thalib supaya menghentikan perlindungan dan pembelaannya kepada Rasul Allah s.a.w., maka tokoh-tokoh mereka mengambil keputusan: melancarkan blokade dan pemboikotan total terhadap semua orang Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib.

Blokade dan pemboikotan total yang demikian itu adalah cara-cara yang di cela oleh tradisi dan moral bangsa Arab sendiri. Tetapi bagi kaum kafir Qureiys, itu bukan soal. Yang penting, tujuan harus tercapai. Segala cara atau jalan mereka halalkan demi tujuan.

Blokade kafir Qureiys itu ternyata lebih mendorong orang-orang Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib untuk bertambah cenderung dan berfihak kepada Abu Thalib. Orang-orang Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib berhimpun dalam sebuah Syi'ib (lembah di antara dua bukit).

Dengan semangat baja mereka hadapi kepungan ketat serta pemboikotan total di bidang ekonomi dan sosial. Selama lebih kurang 3 tahun mereka menahan penderitaan dan kelaparan.

Mereka sampai terpaksa menelan dedaunan sekedar untuk mengganjel perut yang lapar. Selama masa yang penuh derita dan sengsara itu, Abu Thalib tetap tegak berdiri laksana gunung raksasa yang kokoh-kuat, tak tergoyahkan oleh gelombang badai dan tiupan angin ribut.

Dengan tegas Abu Thalib menolak setiap kompromi dan tawar-menawar yang diajukan oleh orang-orang kafir Qureiys. Penolakkannya itu diucapkan dengan bait-bait syair. Inilah di antara syair-syair tersebut :
"Sadarlah kalian, sadarlah,
sebelum banyak liang digali orang,
dan orang-orang tak bersalah diperlakukan sewenang-wenang.
Janganlah kalian ikuti perintah orang jahat tiada berakhlaq
untuk memutuskan tali persahabatan
dan persaudaraan dengan kita.
Demi Tuhan Penguasa Ka'bah,
Kami tak akan menyerahkan Muhammad ke dalam marabahaya
yang dirajut orang-orana penentang zaman,
sebelum terbedakan mana leher kami dan mana leher kalian,
dan sebelum tangan berjatuhan ditebas pedang mengkilat tajam!"

Ya… benarlah. Jika Abu Thalib sudah mempercayai suatu kebenaran, kepercayaannya itu benar-benar keras dan mantap. Sekeras dan semantap kepercayaan yang diwariskan kepada putera bungsunya, Imam Ali r.a., bahkan sampai kepada anak cucu keturunan Imam Ali r.a.!

Abu Thalib bergerak membela Nabi Muhammad s.a.w. bukan disebabkan karena beliau putera saudaranya sendiri. Abu Thalib menyingsingkan lengan baju, karena Nabi Muhammad s.a.w. seorang yang menyerukan kebenaran dan mengajak manusia ke arah kebajikan! Ia membela kebenaran dan bukan membela kekerabatan. Ia menentang dan melawan saudaranya sendiri, Abu Lahab, karena ia tahu, Abu Lahab berada di atas kebatilan.

Tentang betapa adil dan jujurnya Abu Thalib dapat pula disaksikan dari peristiwa berikut. Pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. memberitahukan kepada Abu Thalib, bahwa naskah pemboikotan yang ditempelkan oleh orang-orang kafir Qureiys pada dinding Ka'bah sudah hancur di makan rayap, sehingga tak ada lagi bagian yang tinggal selain yang bertuliskan: "Dengan Nama Allah."

Setelah mendengar keterangan Rasul Allah s.a.w., Abu Thalib segera mendatangi sejumlah tokoh Qureiys. Kepada tokoh-tokoh kafir Qureiys itu, Abu Thalib berkata dengan lantang: "Hai orang-orang Qureiys, putera saudaraku telah memberitahu kepadaku, bahwa naskah pemboikotan yang kalian tulis dan kalian gantungkan pada Ka'bah, sekarang sudah hancur.

Tengoklah naskah kalian itu! Kalau benar terjadi seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad, hentikanlah pemboikotan kalian terhadap kami. Tetapi jika Muhammad ternyata berdusta, ia akan kuserahkan kepada kalian!"

Abu Thalib mengatakan semuanya itu hanya berdasarkan kepercayaan yang penuh kepada Nabi Muhammad s.a.w. Ia sendiri belum pernah melihat bagaimana keadaan naskah yang tergantung pada dinding Ka'bah.

Tokoh-tokoh Qureiys merasa puas dengan kesediaan Abu Thalib menyerahkan Nabi Muhammad s.a.w., bila terbukti beliau berdusta. Mereka segera pergi menuju Ka'bah untuk menengok naskah pemboikotan dan ternyata benar apa yang dikatakan Nabi Muhammad s.a.w. Tokoh-tokoh kafir Qureiys lemas, tak berdaya dan terpaksa mengumumkan penghentian pemboikotan pada hari itu juga. Aksi komplotan mereka berakhir dengan kegagalan.

Dari peristiwa tersebut Abu Thalib memperoleh pembuktian langsung dari Allah s.w.t. tentang benarnya kepercayaan yang selama ini dipertahankan dan dijaganya baik-baik. Pembuktian yang didapatnya sebagai mu'jizat Rasul Allah s.a.w. itu datang dari kekuasaan Allah dan bukan datang dari seorang famili yang harus diikuti.

Jauh sebelum kejadian di atas, orang-orang kafir Qureiys sudah berkali-kali menghimbau Abu Thalib baik dengan bujuk rayu, maupun dengan ancaman kekerasan. Orang-orang kafir Qureiys pernah mengancam Abu Thalib dengan kata-kata: "Hai Abu Thalib, engkau orang yang sudah lanjut usia, terhormat dan mempunyai kedudukan terpandang… Kami telah berkali-kali meminta kepadamu supaya engkau melarang putera saudaramu terus menerus berda'wah, tetapi engkau tidak mau melarangnya… Kami tidak dapat lagi menahan kesabaran mendengar orangtua kami dicerca, tuhan-tuhan kami dicela, dan orang-orang arif kami dijelek-jelekkan... Silakan engkau pilih… Apakah engkau bersedia mencegah Muhammad supaya tidak terus menerus menyerang kami, atau, kamilah yang akan bertindak memerangi dia, termasuk engkau sekaligus, sampai salah satu fihak binasa…"

Mendengar ancaman itu, Abu Thalib bukannya menjadi mundur dalam membela kebenaran Nabi Muhammad s.a.w., malahan justru bertambah teguh pendiriannya, semakin tinggi semangatnya dan merasa lebih mampu memberikan tamparan keras terhadap muka orang Qureiys yang sudah semakin nekad. Melalui syairnya dengan tegas Abu Thalib menjawab: "Aku tahu bahwa agama Muhammad, agama terbaik bagi segenap manusia. Demi Allah, hai Muhammad, mereka tak akan dapat menyentuhmu, sebelum aku terkapar berkalang tanah."

Pada suatu hari Abu Thalib sedang duduk santai di rumah. Tiba-tiba datang Rasul Allah s.a.w. kelihatan sedih dan kesal. Setelah duduk, Rasul Allah s.a.w. segera menyampaikan persoalannya. Mendengar keterangan beliau, Abu Thalib segera mengerti, bahwa orang-orang kafir Qureiys telah berhasil membujuk salah seorang yang berperangai jahat di kalangan mereka melemparkan kotoran ternak dan gumpalan darah beku ke atas kepala Rasul Allah s.a.w. Pelemparan itu dilakukan, di saat Nabi Muhammad s.a.w. sedang sujud bermunajat kehadirat Allah s.w.t.

Dengan tidak menunggu waktu lagi Abu Thalib bangkit. Dengan tangan kanan membawa pedang terhunus dan tangan kiri menggandeng Nabi Muhammad s.a.w., ia berangkat mendatangi gerombolan Qureiys yang telah mengganggu Nabi Muhammad s.a.w. Setiba di depan gerombolan itu, Abu Thalib berhenti sejenak. Diperhatikannya gerak-gerik gerombolan itu.

Seorang demi seorang mereka mundur. Rupanya di luar perkiraan mereka, bahwa Nabi
Muhammad s.a.w. akan datang kembali bersama pamannya.

Abu Thalib terus berteriak kepada gerombolan itu: "Demi Allah, yang Muhammad beriman kepada-Nya. Jika ada seorang dari kalian yang berani melawan, akan kupersingkat umurnya dengan pedang ini!" Setelah itu Abu Thalib dengan tangannya sendiri membersihkan tubuh Nabi Muhammd s.a.w. dari kotoran ternak dan darah. Semua kotoran itu dikumpulkan, digenggam, lalu dilemparkan ke wajah orang-orang Qureiys yang sedang siap hendak lari. Di hadapan Abu Thalib kelihatan sekali kekerdilan gerombolan itu.

Dalam membela dan melindungi Rasul Allah s.a.w. dari marabahaya keteguhan Abu Thalib dapat diandalkan benar. Keteguhannya itu tercermin juga dari syair-syair yang diucapkannya sendiri:

Janganlah kalian sulut api pengobar perang,
Yang akibat-pahitnya akan ditelan semua orang!
Demi Allah, Muhammad tak nanti 'kan kuserahkan
Kepada tangan pencetus bencana mengerikan.
Kenalkah kalian siapa Hasyim,
Ksatria yang pernah berpesan,
Agar kami berani berperang dengan semangat jantan?
Kami bukan pejuang-pejuang yang jemu perang,
Tak'kan kami sesali yang gugur di medan juang!
Kubela Rasul, utusan Penguasa Maha Kuasa,
Pembawa amanat berkilauan laksana kilat bercahaya,
Kubela dan kulindungi utusan Tuhan Ilahi,
Karena ia manusia kesayanganku sendiri,
Kulindungi ia dari serangan musuh-musuhnya,
Laksana gadis kulindungi dari gangguan pria!
Hai Abu Ya'la,
Teguh dan sabarlah dalam agama Muhammad,
Nyatakan dirimu terang-terangan sebagai muslim yang mantap,
Bulatkan tekad mendampingi pembawa kebenaran Tuhan,
Betapa riang hatiku mendengar engkau beriman,
Janganlah engkau menjadi kafir tidak bertuhan,
Jadikan dirimu pembela Rasul dan pembela Tuhan,
Tunjukkan agamamu di mata Qureiys terang-terangan,
Katakanlah: Muhammad bukan si tukang sihir!

Datukanda
Pada waktu jemaah haji berjubel tiap tahun di sekitar sumur Zamzam, tentu mereka teringat kepada nama seorang terhormat yang dikagumi rakyatnya. Nama seorang yang dengan tangan dan keringat sendiri menggali sumur itu hingga airnya memancar, setelah sekian abad lamanya tertutup. Sumur Zamzam tak dapat dipisahkan dari nama Abdul Mutthalib.



0 Responses

Posting Komentar