lathif99

Perang Unta, atau Waq'atul Jamal, antara sesama kaum muslimin, sudah tak dapat dihindarkan lagi. Dalam tulisannya tentang Waq'atul Jamal, Al-Madainiy dan Al-Waqidiy antara lain mengatakan, bahwa dua pasukan saling berhadapan, pasukan Thalhah dan penduduk Bashrah, terus menerus dibakar semangatnya dengan syair-syair agitasi. Mereka dikerahkan untuk mengarungi pertempuran sengit melawan Imam Ali r.a. dan pasukannya. Di tengah-tengah pertempuran sedang berlangsung sengit, muncul Auf bin Qhatan Adh Dhabiy.

Ia berteriak: "Tidak ada fihak yang harus dituntut atas kematian Utsman selain Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya!" Sejalan dengan itu ia menarik tali kekang unta yang dikendarai Sitti Aisyah r.a. sambil bersyair:
Hai ibu…, hai ibu, tanah air telah lepas dariku
Aku tak ingin kuburan dan tak ingin kain kafan
Disinilah medan laga bagi Auf bin Qhatan
Jika Ali lepas dari tangan, matilah aku
Atau jika dua anaknya, Hasan dan Husein, lepas...
Baiklah aku mati merintih bagaikan pahlawan!

Dengan pedang teracung di tangan ia maju menerjang. Belum sempat pedangnya menjatuhkan korban di fihak lawan, ia sendiri sudah tersungkur terbelah setengah badan dan menggelepar bergumul dengan pasir. Tali kekang yang lepas dari tangannya, segera diambil oleh Abdullah bin Abza. Ketika itu barang siapa yang benar-benar berani bertempur sampai mati, ia pasti maju mendekati unta Sitti Aisyah r.a. dan memegang tali kekangnya. Sambil mendendangkan syair Abdullah bin Abza tampil menghunus pedang dan mulai menyerang pasukan Imam Ali r.a.

Dengan syair juga ia menantang Imam Ali r.a. :
Mereka kuserang, tetapi tak kulihat ayah si Hasan
Aduhai....itu merupakan kesedihan di atas kesedihan
Mendengar tantangan Abdullah bin Abza, Imam Ali r.a. segera keluar dari barisan untuk melakukan serangan dengan tombak. Beberapa saat perang tanding berlangsung.

Setelah beberapa kali ayunan pedang Abdullah bin Abza gagal menyentuh tubuh Imam Ali r.a., tiba-tiba ujung tombak yang runcing mengkilat sudah menancap di tengah-tengah dada Abdullah bin Abza. Ia jatuh tersungkur. Beberapa detik sebelum Abdullah menarik nafas terakhir, Imam Ali r.a. menghampirinya sambil bertanya: "Sudahkah engkau melihat ayah si Hasan? Bagaimana engkau lihat dia?" Habis mengucapkan pertanyaan itu Imam Ali r.a. kembali ke pasukan.

Sementara pasukan kedua belah fihak sedang bergulat mengadu senjata, banyak kepala dan tangan berjatuhan terpisah dari batang tubuhnya, Sitti Aisyah r.a. turun dari unta. Ia mengambil segenggam kerikil, lalu dicampakkan kepada pengikut-pengikut Imam Ali r.a. seraya berteriak: "Hancurlah muka kalian!" Hal semacam itu dilakukan Sitti Aisyah r.a., meniru perbuatan Rasul Allah s.a.w. dalam perang Hunain.

Melihat peperangan semakin dahsyat, bersama regu pasukan yang mengenakan serban hijau, terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, Imam Ali r.a. maju memimpin serangan. Ia diapit oleh tiga orang puteranya: Al Hasan, Al Husein dan Muhammad Al Hanafiyah. Sebelum tampil sendiri memimpin serangan, Imam Ali r.a. bermaksud hendak menguji ketangguhan puteranya yang bernama Muhammad Al Hanafiyah. Sambil menyerahkan panji pasukan, Imam Ali r.a. berkata kepada puteranya itu: "Majulah dengan panji ini dan pancangkanlah di depan mata unta itu!

Jangan berhenti di tempat lain!"

Baru saja Muhammad mengayunkan kaki beberapa langkah, ia sudah dihujani anak-panah yang beterbangan dari arah lawan. Melihat itu, ia memerintahkan regunya supaya berhenti sejenak: "Tunggu dulu, sampai mereka kehabisan anak-panah!"

Mengetahui hal itu, Imam Ali r.a. segera menyuruh orang lain guna mendekati puteranya. Kepada orang yang disuruhnya itu, dipesan agar mendorong Muhammad Al Hanafiyah maju terus melancarkan serangan terbuka dan besar-besaran. Karena gerak Muhammad lamban, Imam Ali menghampirinya sendiri dari belakang. Sambil menepukkan tangan kiri ke bahu puteranya, Ia membentak: "Hayo maju!"

Meskipun sudah dibentak ayahnya agar maju terus, namun Muhammad Al Hanafiyah masih juga lamban bergerak. Sebagai seorang ayah, Imam Ali r.a. merasa kasihan. Kemudian panji yang di tangan puteranya diambil kembali dengan tangan kiri, sedang pedang yang terkenal dengan nama "Dzul Fiqar" terhunus di tangan kanannya. Tanpa membuang-buang waktu Imam Ali r.a. memimpin serbuan ke tengah pasukan "Jamal". Setelah melakukan serangan beberapa saat lamanya, menangkis dan memukul musuh, Imam Ali r.a. kembali ke induk pasukan. Sahabat-sahabat dan putera-puteranya berkerumun.

"Ya Amirul Mukminin," desak Al Asytar, "cukuplah kami saja yang melaksanakan tugas itu!"

Desakan Al Asytar itu tak ditanggapi oleh Imam Ali r.a. Menoleh saja pun tidak, darahnya masih mendidih. Sedemikian meluapnya sampai semua orang yang ada di sekitarnya ketakutan. Pandangan matanya yang berapi-api tetap mengarah ke pasukan musuh. Tak lama kemudian ia menyerahkan kembali panji pasukan kepada puteranya, Muhammad A1 Hanafiyah.

Segera ia maju lagi menyerang musuh untuk kedua kalinya. Dengan gagah berani Imam Ali r.a. menerjang pasukan lawan sambil memainkan pedang dengan gesit dan cekatan. Anggota-anggota pasukan Thalhah yang menjadi sasaran serangannya lari terbirit-birit menyelamatkan diri. Banyak yang mati terbunuh di ujung pedangnya. Tanah menjadi merah dibasahi darah.

Selesai melancarkan serangan kedua, Imam Ali r.a. kembali lagi ke induk pasukan. "Kalau anda sampai gugur," puji sahabatnya, setelah Imam Ali r.a. berada di tengah barisannya, "barangkali akan lenyap agama Islam. Berhentilah, cukup kami saja yang menyerang dan bertempur!"

"Demi Allah," jawab Imam Ali r.a. atas pujian sahabat-sahabatnya itu. "Aku sangat tidak setuju dengan fikiran kalian. Yang kuinginkan bukan lain hanyalah keridhoan Allah dan kampung akhirat!" Selanjutnya kepada Muhammad Al Hanafiyah ia berkata: "Seperti akulah seharusnya engkau berbuat!"

Muhammad Al Hanfiyah tidak menjawab sepatah kata pun ucapan ayahnya itu. Dari orang-orang yang berkerumun di sekitar Imam Ali r.a. terdengar sura bergumam: "Siapa orangnya yang sanggup berbuat seperti Amirul Mukminin!"





0 Responses

Posting Komentar