lathif99

Ketika sedang sengit-sengitnya pertempuran, unta yang di kendarai Sitti Aisyah r.a. terputar-putar sedemikian rupa seperti penggilingan gandum. Pasukan kedua belah fihak berjubel dan saling mendesak beradu senjata di sekitarnya. Unta sampai meringkik-ringkik keras sekali karena tali kekangnya ditarik ke sana ke mari.

Pasukan Imam Ali r.a. makin maju menerjang untuk lebih mendekat kepada unta. Gerakan pasukan Imam Ali r.a. terhambat tumpukan manusia yang berada di sekelilingnya. Setiap anggota pasukan yang mati, penggantinya datang berlipat ganda.

Melihat situasi itu Imam Ali r.a. berteriak memberi perintah: "Celakalah kalian! Tembak saja unta itu dengan panah! Bantailah unta celaka itu!"

Unta yang dikendarai Sitti Aisyah r.a. itu segera dihujani anak-panah. Tetapi tak sebuah pun anak-panah yang menembus, karena di sekujur badannya dipasang tijfaf. Semua anak panah menancap pada tijfaf sampai unta itu kelihatan seperti seekor landak raksasa.

Terdengar lagi suara orang berteriak: "Hai penuntut balas darah Utsman!" Yang berteriak ialah Al Azd dan Dhabbah. Kalimat itu diulang-ulang dan akhirnya menjadi semboyan yang diteriakkan pasukan Thalhah.

Semboyan pasukan Thalhah itu dijawab Imam Ali r.a. dengan semboyan: "Hai Muhammad!" Nama putera Imam Ali r.a. yang memegang panji pasukan. Pasukan Imam Ali r.a. segera mengikuti semboyan yang diserukan Imam Ali r.a. Pasukan kedua belah fihak sekarang makin tambah bergumul mengadu senjata.

Peristiwa tersebut terjadi pada hari kedua perang Unta. Semboyan yang diserukan Imam Ali r.a. ternyata besar sekali pengaruhnya di kalangan pasukannya, sehingga mereka berhasil menggoyahkan sendi-sendi kekuatan lawan.

Pasukan Thalhah makin payah menghadapi tekanan-tekanan berat yang terus-menerus dilancarkan pasukan Imam Ali r.a. Namun demikian mereka samasekali tidak berusaha melarikan diri atau meletakkan senjata. Pasukan yang makin lama makin mengecil itu kemudian bergerak memusat di sekitar unta yang ditunggangi Sitti Aisyah r.a. Mereka telah bertekad, pasukan Imam Ali r.a. baru akan berhasil merebut Sitti Aisyah r.a. sesudah melewati mayat-mayat mereka.

Perlawanan yang diberikan oleh pasukan Makkah dan Bashrah itu sungguh dahsyat sekali. Nyawa, sudah tidak mereka pedulikan. Dengan semangat berkobar-kobar penuh fanatisme mereka rela menghadapi maut. Demikian banyaknya korban sehingga di sekitar unta yang besar itu bergelimpangan tumpuk-menumpuk manusia yang luka dan mati. Padang pasir yang kering menjadi basah oleh darah dan bau anyir menyengat hidung.

Melihat keadaan yang mengerikan itu, Imam Ali r.a. mengambil suatu keputusan cepat untuk merobohkan unta tersebut. Pelaksanaan keputusan dipercayakan kepada Al Asytar dan Ammar.

Kepada kedua orang sahabatnya itu, Imam Ali r.a. memerintahkan: "Cepat bantai unta itu! Peperangan belum selesai, apinya masih berkobar. Unta itulah yang dijadikan semacam kiblat oleh mereka!"

Dua orang yang diperintah itu segera maju bersama beberapa orang lainnya dari Bani Murad. Seorang di antaranya bernama Umar bin Abdullah. Bersama Umar binAbdullah Al Muradiy mereka mendekati unta, lalu ponok dekat lehernya dipukul dengan pedang oleh Al Muradiy. Unta itu meronta-ronta, meringkik keras-keras, dan akhirnya rebah. Pendukung-pendukung Sitti Aisyah r.a. melihat gelagat itu cepat lari menjauhkan diri. Imam Ali r.a. berteriak memberi perintah: "Potong tali pengikat Haudaj!"

Setelah itu Imam Ali r.a. menyuruh Muhammad bin Abu gakar Ash Shiddiq (saudara Sitti Aisyah r.a.): "Ambillah saudara perempuanmu!" Sitti Aisyah kemudian dibawa oleh Muhammad bin Abu Bakar dan dimasukkan ke dalam sebuah rumah milik Abdullah bin Khalaf Al Khuza'iy.

Selanjutnya Imam Ali r.a. memerintahkan Abdullah bin Abbas supaya menemui Sitti Aisyah dan memintanya agar bersedia pulang ke Madinah. Mengenai hal ini Abdullah bin Abbas menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Aku datang menemui Sitti Aisyah. Aku tidak diberi sesuatu untuk duduk. Kuambil saja sebuah bantal yang dibawa olehnya selama perjalanan, lalu duduk di atasnya. Kepadaku ia berkata: "Hai Ibnu Abbas, engkau sudah menyalahi peraturan. Engkau berani duduk di atas bantalku dan dalam rumahku tanpa seizin aku?!"

"Ini bukan rumah bunda," jawabku, "bukan rumah yang oleh Allah bunda diperintahkan supaya tetap tinggal di dalamnya. Jika ini rumah bunda, aku tidak berani duduk di atas bantal bunda tanpa seizin bunda!"

"Melalui aku," kataku meneruskan, "Amirul Mukminin minta supaya bunda berangkat pulang ke Madinah."

Tiba-tiba ia menyahut: "Mana ada Amirul Mukminin?"

"Dulu memang Abu Bakar," jawabku dengan sabar dan hormat, "kemudian Umar lalu Utsman dan sekarang Ali!"

"Tidak, aku tidak mau!" sahut Sitti Aisyah.

"Bunda sekarang bukan lagi orang yang dapat memerintah atau melarang," kataku terpaksa menegaskan, "Tidak bisa mengambil dan tidak bisa memberi."

Sitti Aisyah kemudian menangis, sampai suaranya kedengaran dari luar rumah. Lalu ia berkata: "Aku akan segera pulang ke tempat kediamanku, insyaa Allah Ta'aalaa. Demi Allah, tidak ada suatu negeri yang kubenci seperti negeri di mana kalian berada sekarang ini."

"Mengapa begitu?" tanyaku. "Demi Allah, kami tetap memandang bunda sebagai Ummul Mukminin. Kami tetap memandang ayahnya bunda, Abu Bakar, sebagai seorang shiddiq."

Sehabis pertemuan dengan Ummul mukminin aku segera menghadap Amirul Mukminin. Kepadanya kulaporkan semua yang kukatakan kepada Sitti Aisyah dan apa yang dikatakannya kepadaku. Mendengar laporanku itu, Amirul Mukminin merasa lega. Menanggapi laporanku ia berucap: "Waktu aku menyuruhmu sudah kuduga ia akan memberi jawaban jawaban seperti itu."

Sudah lazim terjadi, tiap kelompok masyarakat atau pasukan, ssusai menghadapi peperangan muncul anasir-anasir ekstrim. Demikian juga pasukan Imam Ali r.a. Ada yang menuntut agar semua orang yang terlibat dalam pasukan lawan yang sudah kalah itu dijadikan tawanan, diperlakukan sebagai budak dan dibagi-bagikan.

Menjawab tuntutan ekstrim itu dengan tegas Imam Ali r.a. mengatakan: "Tidak!"

"Mengapa anda melarang kami?" tanya fihak ekstrim itu, "untuk menjadikan mereka sebagai hamba-hamba sahaya, padahal anda dalam peperangan menghalalkan darah mereka?!"

"Bagaimana kalian boleh berbuat seperti itu," ujar Imam Ali r.a. menjelaskan. "Mereka itu dalam keadaan tidak berdaya, lagi pula mereka itu berada di dalam daerah hijrah dan daerah Islam. Bukankah mereka itu juga kaum muslimin seperti kalian? Adapun tentang apa saja yang dipergunakan pasukan musuh untuk melawan kalian, boleh kalian rampas sebagai barang ghanimah. Tetapi semua yang berada di dalam rumah penduduk Bahsrah, apalagi yang pintunya tertutup rapat, semua itu adalah milik mereka sendiri. Kalian tidak mempunyai hak apa pun atas kesemuanya itu!"

Anasir-anasir ekstrim tidak puas dengan penjelasan itu. Mereka tetap bersitegang leher dalam mendesakkan tuntutannya. Malahan berani mengucapkan kata-kata yang bernada menggertak. Tetapi Imam Ali r.a. tidak mau tunduk kepada hukum yang batil. Dengan muka merah padam dan mata membelalak, Imam Ali r.a. menjawab dengan tantangan: "Coba, siapa dari kalian yang berani merampas Sitti Aisyah…? Coba, siapa yang berani merampas dia dan berani menjadikannya hamba sahaya?! Ayoh, jawab… Dia akan kuserahkan!" Mendengar tantangan Imam Ali r.a. yang sekeras itu mereka mundur sambil minta maaf dan beristighfar kepada Allah s.w.t.



0 Responses

Posting Komentar