lathif99

Usaha mendamaikan

Sekarang pasukan kedua belah fihak telah sama memusatkan kubu-kubu pertahanannya masing-masing di lembah Shiffin. Jalan damai nampaknya sudah buntu. Mengkompro-mikan dua pendirian yang berlawanan sangat sulit. Dua belah fihak sama berkeyakinan, bahwa satusatunya jalan penyelesaian yang bisa di tempuh ialah perang. Yang satu berjuang untuk kekuasaaan dan keduniaan dan yang lainnya berjuang untuk kepentingan agama dan kehidupan akhirat.

Keadaan yang sangat tragis itu benar-benar membingungkan kaum muslimin dalam memilih fihak. Mereka sudah pasti menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat. Tentang kebahagiaan akhirat sudah tidak menjadi persoalan lagi, karena Islam telah memberikan penjelasan dengan gamblang. Yang sulit ialah bagaimana menetapkan definisi (pembatasan-pembatasan) tentang kebahagiaan dunia. Fihak Syam berusaha meraihnya lewat jalan kekuasaan dan kekayaan.

Sedang fihak Kufah berusaha mencapainya melalui jalan taqwa kepada Allah s.w.t. dan patuh kepada tauladan RasulNya. Bagaimana menserasikan dua jalan itu tidak ditemukan pemecahannya oleh kaum muslimin pada zaman yang sedang kita bicarakan. Tetapi bagaimana pun juga, semua kaum muslimin adalah saudara. Semua ingin hidup rukun tentram, damai dan sejahtera.

Fikiran seperti itu tetap menjiwai kehidupan kaum muslimin sepanjang zaman, tetapi realisasinya tidak semudah seperti yang didambakan. Namun usaha ke arah itu tak boleh berhenti. Pegangan pokok sudah diletakkan oleh Islam, yaitu Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Siapa yang teguh berpegang pada dua-duanya pasti selamat, dan siapa yang meninggalkan duaduanya pasti sesat.

Itulah rupanya yang menjadi pemikiran Abu Hurairah dan Abu Darda untuk mencoba mendamaikan dua fihak yang berhadapan siap perang. Diriwayatkan, bahwa Abu Hurairah dan Abu Darda sengaja datang dari Himsh untuk bertemu dengan Muawiyah di Shiffin. Kepada Muawiyah dua orang itu mengingatkan: "Hai Muawiyah, mengapa anda memerangi Ali bin Abi Thalib, padahal engkau tahu ia lebih berhak memegang kekhalifahan daripada anda, baik disebabkan karena keutamaan pribadinya, maupun oleh kediniannya memeluk Islam. Ia seorang dari kaum Muhajirin yang pertama, dan terdahulu pula dalam hal iman dan ihsan. Sedang anda seorang dari kaum thulaqa, dan ayah anda pun dulu seorang pemimpin kaum musyrikin dalam perang Ahzab melawan kaum muslimin. Demi Allah, aku ingin berkata terus terang kepada anda, bahwa kami ini lebih menyukai Iraq daripada Syam. Tetapi kelestarian hidup, lebih kami sukai daripada kehancuran, dan kebaikan lebih kami sukai daripada kerusakan."

Terhadap pernyataan yang serba blak-blakan dari dua orang sahabat Rasul Allah s.a.w. itu, Muawiyah memberikan tanggapan: "Aku tidak menganggap diriku lebih berhak daripada Ali untuk memegang kekhalifahan. Aku memerangi dia hanya supaya ia mau meyerahkan orangorang yang membunuh Utsman bin Affan kepadaku!"

"Seandainya Ali bin Abi Thalib mau menyerahkan mereka kepada anda," tanya Abu Hurairah dan Abu Darda, "lantas apakah yang kira-kira akan anda lakukan?"

"Aku akan bersikap seperti kaum muslimin yang lain," jawab Muawiyah." Cobalah kalian dating kepada Ali bin Abi Thalib. Jika ia menyerahkan para pembunuh Utsman itu kepada kalian, masalah kekhalifahan akan kuserahkan kepada kaum muslimin!"

Abu Hurairah dan Abu Darda memang bukan diplomat dan bukan pula orang-orang politik seperti Muawiyah atau Amr bin Al Ash. Mereka berdua itu orang-orang bertaqwa, lugu dan polos. Tampaknya mereka tidak dapat meraba apa-apa yang ada dibalik ucapan Muawiyah. Mungkin dua orang itu menganggap Muawiyah sama dengan diri mereka, jujur, terus terang dan tidak bermain lidah.

Pergilah dua orang itu meninggalkan kubu-kubu pertahanan Muawiyah menuju ke kubu-kubu pertahanan Imam Ali r.a. Setibanya di sana, mereka diterima oleh Al Asytar, yang ketika itu bertindak selaku Panglima pasukan Kufah. Setelah Abu Hurairah dan Abu Darda menjelaskan maksud kedatangan mereka dan menyampaikan apa yang menjadi pendirian Muawiyah dan pendirian mereka sendiri, Al Asytar memberi jawaban: "Hai Abu Hurairah dan Abu Darda, kalian datang kepada orang-orang Syam bukan karena kalian menyukai Muawiyah. Kalian mengatakan Muawiyah hanya menuntut diserahkannya pembunuh-pembunuh Utsman. Dari siapa kalian bisa mengetahui para pembunuh itu? Apakah dari mereka yang melakukan pembunuhan itu sendiri, ataukah dari mereka yang memberi bantuan dalam pembunuhan? Atau kalian mendapat keterangan dari mereka yang memisahkan diri dari Utsman karena mereka tahu dosanya Utsman? Atau kalian mencari penjelasan dari Muawiyah yang menuduh bahwa pembunuh Utsman ialah Ali?"

"Wahai kawan-kawan," kata Al Asytar lebih lanjut, "bertaqwalah kalian kepada Allah. Kami inilah yang menyaksikan sendiri, sedang kalian tidak mengetahui terjadinya peristiwa itu. Kamilah yang lebih dapat menetapkan hukumnya dibanding dengan orang-orang lain yang tidak menyaksikan sendiri terjadinya peristiwa itu!"

Setelah menerima penjelasan panjang lebar dari Al Asytar, keesokan harinya mereka bertemu dengan Imam Ali r.a. Kepada Imam Ali r.a., Abu Hurairah dan Abu Darda menerangkan: "Anda memang mempunyai keutamaan yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun. Anda telah menempuh cara gagah berani dalam menghadapi orang-orang yang buruk perangai. Muawiyah minta supaya anda mau menyerahkan para pembunuh Utsman kepadanya. Jika anda sudah berbuat itu dan Muawiyah masih tetap memerangi anda, kami akan bersama-sama anda melawan dia."

"Apakah engkau tahu siapa-siapa yang membunuh Utsman?" tanya Imam Ali r.a. sambil tersenyum.

"Ya," jawab kedua orang itu dengan tak ragu-ragu.

"Silakan ambil mereka itu!" sahut Imam Ali r.a. melanjutkan. Mereka keluar. Lalu menghampiri Muhammad bin Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan Al Asytar yang sedang duduk bersama. Kepada mereka, dua orang itu berkata dengan lantang: "Kalian termasuk orang-orang yang membunuh Utsman. Aku mendapat perintah untuk mengambil kalian!"

Pada saat itu lebih 1.000 orang datang berduyun-duyun mengerumuni Abu Hurairah dan Abu Darda sambil berteriak-teriak: "Kami semua inilah yang membunuh Utsman!"
Karena semuanya mengaku membunuh Utsman, dua orang itu kebingungan. Abu Hurairah dan Abu Darda mencoba mencari keterangan siapa-siapa sebenarnya yang telah membunuh Utsman.

Tetapi tiap-tiap bertanya selalu dijawab: "Kami inilah yang membunuh Utsman!"

Dua orang itu tak dapat berbuat apa-apa. Cepat-cepat minta diri, lalu masing-masing pulang ke rumahnya di Himsh. Meletus Sama seperti di medan-medan tempur lainnya, tiap tempat strategis pasti menjadi incaran pertama dari suatu gerakan militer. Dalam perang Shiffin, sungai Al Furat mempunyai nilai strategi yang sangat vital. Lebih-lebih dalam peperangan di zaman itu, di mana peperangan benar-benar merupakan adu tenaga dan kelincahan bermain senjata. Bukan hanya anggota-anggota pasukan saja yang membutuhkan air, melainkan ternak-ternak kendaraan seperti unta-unta dan kuda-kuda perang bahkan lebih banyak menghabiskan air daripada manusia. Datam perang Shiffin fihak yang menguasai sungai Al Furat pasti akan dapat bertahan lebih lama dibanding dengan fihak yang tidak memperoleh air cukup.

Oleh karena itu pasukan Muawiyah yang datang lebih dulu di Shiffin, segera berusaha menduduki dan memperkuat posisi di daerah-daerah sekitar sungai Al Furat. Dengan tujuan untuk menguasai perbekalan air. Dengan berhasil menguasai sungai itu, pasukan Syam yang berjumlah puluhan ribu orang tidak hanya terjamin kebutuhan airnya, tetapi sekaligus juga mereka akan dapat membuat pasukan lawan mati kehausan.

Setelah pasukan Syam menguasai sungai Al Furat, Muawiyah memerintahkan kepada semua anggota pasukan supaya jangan membiarkan ada seorang pun dari pasukan Imam Ali r.a. mengambil air dari sungai itu. Dugaan memang tidak meleset. Pasukan Imam Ali r.a. yang belum lama tiba dari Kufah sudah mulai kekurangan air minum. Mereka berusaha mendapatkan perbekalan air dari sungai.

Alangkah terkejutnya mereka, karena pasukan Syam dengan ketat sekali menjaganya agar pasukan Imam Ali r.a. tidak menginjakkan kaki di sepanjang tepi sungai itu. Ketika melihat ada beberapa orang pasukan Kufah mendekati sungai untuk mengambil air, pasukan Syam yang mengawal sungai itu berteriak-teriak melarang: "Tidak! Demi Allah, kalian takkan kami biarkan mengambil air barang setetes pun. Biarlah kalian mampus kehausan!"

Sambil berkata seperti itu ia menyiapkan busur dan anak panahnya. Anak buah Imam Ali r.a. segera mundur, kembali ke induk pasukan, dan melapor kepada Imam Ali r.a.

Imam Ali r.a. menyadari benar, bahwa air sungai Al Furat sangat dibutuhkan oleh pasukannya dan hewan-hewan tunggangan. Jika pasukannya sampai tidak mendapat air berarti sudah kalah sebelum bertempur dan semua hewan tunggangan akan mati kehausan. Cepat-cepat Imam Ali r.a. mempersiapkan pasukan untuk melancarkan serangan kilat dan terbatas guna merebut lokasi yang sangat strategis itu. Tak berapa lama kemudian terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan memperebutkan sungai Al-Furat. Dengan serangan kilat pasukan Syam terusir dari posisinya yang strategis dan pasukan Kufah bersama hewan tunggangannya dapat minum sepuas-puasnya.







0 Responses

Posting Komentar