lathif99

"Kalian sebenarnya dendam karena soal yang amat kecil dan mengharapkan sesuatu yang sangat besar," kata Amirul Mukminin sambil menekan perasaan, menanggapi jawaban Thalhah dan Zubair tadi. "Mohonlah pengampunan kepada Allah, Dia akan mengampuni kalian! Bukankah dengan ucapan itu kalian bermaksud hendak mengatakan, bahwa aku ini telah menghapus hak kalian dan aku berlaku dzalim terhadap kalian mengenai hal itu? Apakah aku meremehkan atau menutup muka terhadap hukum atau terhadap sesuatu yang sudah menjadi hak kaum muslimin?"

"Na'udzubillah," sela Thalhah dan Zubair.

"Lantas, apa sebab kalian tidak menyukai perintahku dan mempunyai pendirian lain?" Tanya Imam Ali r.a. pula sebelum meneruskan penjelasannya. "Kami tidak sependapat dengan anda," ujar kedua orang itu, "karena anda tidak melaksanakan pembagian seperti yang telah dilakukan oleh Utsman bin Affan.Hak kami anda samakan saja dengan hak orang lain. Kami ini anda sama-ratakan dengan orangorang yang tidak seperti kami, sedang kami ini adalah orang-orang yang sudah berjuang dengan pedang, tombak dan senjata-senjata lainnya. Kami telah berjuang sampai da'wah risalah berhasil ditegakkan dan dimenangkan. Kami telah berhasil pula menundukkan mereka yang tidak menyukai Islam…"

Demikian tangkisan dua orang itu, terhadap desakan pertanyaan bertubi-tubi yang diajukan Imam Ali r.a. Dengan tidak menanggapi secara langsung pembicaraan tentang jasa-jasa mereka, Imam Ali r.a. berkata lebih jauh: "Setelah kepemimpinan itu kuterima, aku selalu berpegang dan tidak pernah berpaling dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Kujalankan dan kuikuti apa saja yang ditunjukkan oleh kedua-duanya. Apa yang sudah ditunjukkan oleh Allah dan Rasul-Nya, aku tidak memerlukan pendapat kalian. Jika ada masalah hukum yang tidak kutemui penjelasannya, baik di dalam Kitab Allah maupun dalam Sunnah Rasul-Nya, dan hal itu memang perlu dimusyawarahkan, kalian tentu kuajak bermusyawarah.

"Tentang pembagian harta ghanimah secara merata, bukan aku yang mula-mula menetapkan hukumnya. Aku dan kalian berdua sama-sama menyaksikan bahwa Rasul Allah s.a.w. sendirilah yang menetapkannya. Kitab Allah juga menyebutkan hal itu, yaitu Kitab Suci yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun, baik secara terang maupun samar.

"Adapun pernyataan kalian yang mengatakan kalian berhak menerima pembagian lebih banyak dari orang lain, karena kalian telah berjuang dengan pedang dan tombak, ketahuilah…, bahwa sebelum kalian sudah ada orang-orang yang memeluk Islam lebih dahulu. Mereka pun berjuang membela Islam dengan pedang dan tombak. Walaupun demikian, Rasul Allah s.a.w. tidak memberi kepada mereka jumlah yang lebih banyak daripada orang lain. Rasul Allah s.a.w. tidak memberi keistimewaan kepada mereka hanya karena memeluk Islam lebih dini. Allah sendirilah pada hari kiyamat kelak akan melimpahkan pahala kepada mereka."

Penjelasan Imam Ali r.a. yang dramatis itu didengarkan oleh semua yang berada di dalam masjid. Mengakhiri penjelasannya, Imam Ali r.a. berkata: "Kalian berdua dan juga orang lain, dari aku tidak akan memperoleh lebih dari yang sudah menjadi hak masing-masing. Semoga Allah s.w.t. berkenan membuka hatiku dan hati kalian untuk dapat menerima kebenaran.

Semoga pula Ia melimpahkan kesabaran kepadaku dan kepada kalian. Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada setiap orang yang setelah mengetahui kebenaran lalu bersedia membelanya, dan yang setelah mengetahui kedzaliman lalu bersedia menolaknya…"

Dialog tersebut kami kutip dari tulisan salah seorang tokoh kaum Mu'tazilah, Abu Ja'far Al- Iskafiy, yang berasal dari Bagdad. Dalam tanggapannya, Al-Iskafiy mengungkapkan, bahwa pembagian harta ghanimah yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. itu sama seperti yang dahulu dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar r.a. Al-Iskafiy bertanya: Mengapa Thalhah dan kawankawannya itu dulu tidak pernah menolak? Perbedaan apakah yang mereka tentang sekarang ini?

Al-Iskafiy kemudian menjawab pertanyaan sendiri: "Apa yang dulu dilakukan oleh Abu Bakar r.a. sepenuhnya sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Rasul Allah s.a.w. semasa hidupnya. Tetapi pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab, ia melaksanakan pembagian yang berbeda. Yaitu memberi kepada segolongan orang lebih banyak daripada yang diberikan kepada golongan lain. Dengan demikian mereka yang menerima lebih banyak itu menjadi terbiasa dimanjakan, sampai lupa kepada cara pembagian sebelumnya.

"Masa pemerintahan Umar r.a. relatif lama, sehingga fikiran orang-orang itu cukup terpengaruh oleh kesenangan akan harta yang mendatangkan kenikmatan duniawi. Sementara itu orang lain yang menerima lebih sedikit, menjadi terbiasa pula menerima apa adanya. Tidak ada di antara dua golongan itu yang menduga bakal dikembalikannya sistim pembagian seperti yang dulu dilakukan oleh Rasul Allah s.a.w. dan Abu Bakar r.a. Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, ia melaksanakan sistim pembagian sama seperti yang dilaksanakan Khalifah Umar.

Oleh karena itu kaum muslimin bertambah yakin tentang benarnya sistim pembagian yang dilaksanakan oleh Umar dan Utsman r.a. "Dengan mengembalikan sistim pembagian seperti yang berlaku pada masa Rasul Allah s.a.w. dan Abu Bakar, sama artinya Imam Ali telah menghapuskan sistim pembagian yang dilakukan Khalifah Umar dan Khalifah Utsman. Sebagaimanan diketahui, kurun waktu yang memisahkan antara kekhalifahan Abu Bakar dan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ialah 22 tahun. Jadi hamper satu generasi! Itulah sebabnya mengapa perubahan drastis yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. sangat menyentak hati mereka yang sudah terbiasa menerima pembagian lebih banyak selama 22 tahun."

Masalah pembagian harta ghanimah tersebut, ternyata telah mencuramkan jurang pertentangan antara Imam Ali r.a. di satu fihak dengan Thalhah Zubair dan kawan-kawannya di fihak lain. Perselisihan mengenai hal itu kemudian berkembang menjadi pertentangan politik, sehingga meningkat sedemikian rupa tajamnya, sampai membahayakan keutuhan persatuan ummat Islam. Terutama setelah perselisihan itu ditunggangi oleh Muawiyah bin Abu Sufvan dari Syam, yang berhasil mengalihkan persoalan dari masalah sistim pembagian harta ghanimah, menjadi menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. Pertentangan terbuka Kehidupan kenegaraan dan tata kemasyarakatan yang ditinggalkan Khalifah Utsman bin Affan r.a. memang berada dalam situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan Imam Ali r.a. sebagai Khalifah. Sejak sebelum dibai'at Imam Ali r.a. sudah membayangkan adanya kesulitan-kesulitan besar yang bakal dihadapi. Berbagai macam problema sosial, politik dan ekonomi ternyata muncul dalam waktu yang bersamaan.

Langkah pertama untuk membenahi keadaan yang serba tak mantap, tentu saja memulihkan ketertiban, khususnya di ibukota, Madinah. Ribuan kaum pemberontak yang bertebaran di ibukota berhasil dihimbau dan dijinakkan sampai mereka berhasil dipulihkan kembali ke dalam kehidupan normal. Bagi Imam Ali r.a. tidak ada kemungkinan untuk bertindak terhadap ribuan kaum pemberontak yang telah mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman r.a. Bertindak terhadap mereka, berarti menyulut api perang saudara.

Bagi Imam Ali r.a. memang tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Daripada bermusuhan dengan kaum muslimin yang menuntut terlaksananya kebenaran dan keadilan, lebih baik berhadap hadapan dengan tokoh-tokoh Bani Umayyah, betapa pun besarnya resiko yang akan dipikul.

Dan ternyata, tidak bertindaknya Imam Ali r.a. terhadap kaum mulimin yang memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a., dijadikan alasan dan dalih oleh lawan-lawan politiknya untuk menggerakan kekuatan oposisi dan perlawanan. Kemungkinan itu pun telah diperhitungkan oleh Imam Ali r.a. Ada lagi tindakan dan langkah Imam Ali r.a: yang sangat menjengkelkan lawan-lawan politiknya. Yaitu tindakan menertibkan aparatur pemerintahan. Penguasa-penguasa daerah yang selama 6 tahun terakhir masa pemerintahan Khalifah Utsman r.a. terbukti telah menyalah-gunakan wewenang untuk kepentingan pribadi dan golongan, digeser seorang demi seorang. Banyak pejabat tinggi yang tidak dipakai lagi. Di antara mereka ialah Marwan bin Al Hakam, seorang pembantu Khalifah Utsman r.a. yang sangat dominan kekuasaannya, yang kemudian lari meninggalkan Madinah. Juga Abdullah bin Abi Sarah digeser dari kedudukkannya sebagai penguasa daerah Mesir. Imam Ali r.a. juga berniat hendak mengganti penguasa daerah Syam yang berpengaruh itu, Muawiyah bin Abi Sufyan.

Sebelum bertindak melaksanakan penertiban, Imam Ali r.a. telah mengadakan pertukaran pendapat dengan para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar. Ia yakin, bahwa hanya dengan aparatur yang bersih dan sepenuhnya mengabdi kepentingan agama dan ummat saja, pemerintahnya akan dapat berjalan dengan lancar dan kebenaran serta keadilan dapat ditegakkan. Imam Ali r.a. tidak tanggung-tanggung dalam bertindak menjalankan penertiban.

Siapa saja yang terbukti tidak mengabdikan amalnya kepada agama Allah dan ummat Islam, digeser tanpa tawar-menawar. Satu persatu tokoh-tokoh yang tidak atau kurang jujur tersingkir tanpa diberi kesempatan sedikit pun untuk membela diri.

Tetapi ada seorang tokoh dan pejabat teras yang pantang menyerah. Ia adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, yang dalam waktu relatif panjang menjadi seorang penguasa di daerah Syam. Ia bukan hanya membangkang, bahkan menentang kekhalifahan Imam Ali r.a. secara terangterangan.

Sejak mendengar Imam Ali r.a. terbai'at sebagai Amirul Mukminin, Muawiyah telah memasang kuda-kuda untuk menjegal kepemimpinan Imam Ali r.a. Apa yang disiapkan oleh Muawiyah bukannya tidak dimengerti oleh Amirul Mukminin, dan justru itulah motivasinya hendak menggeser Muawiyah.




0 Responses

Posting Komentar