lathif99

Perang ini menjadi abadi dan masyhur dalam sejarah Islam, antara lain karena diikuti dengan turunnya firman Allah s.w.t. sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an (Surah Al-Ahzab). Untuk pertama kalinya dalam usia yang masih muda, kaum muslimin di Madinah dikepung oleh kurang lebih 10.000 orang pasukan musyrikin, yang terdiri dari berbagai suku dan qabilah. Pasukan itu diperkuat lagi oleh kaum Yahudi Banu Quraidhah, yang mengkhianati perjanjian perdamaian dengan Rasul Allah s.a.w. Mereka ini bergabung dengan pasukan musyrikin Qureiys yang membeludak dari Makkah guna mengepung kota Madinah.

Peperangan tersebut dinamakan juga perang Khandaq (Parit), karena untuk menanggulangi penyerbuan kaum musyrikin Qureiys atas usul dan prakarsa Salman Al Farisi, dengan persetujuan Rasul Allah s.a.w., kaum muslimin menggali parit-parit yang cukup lebar dan dalam di sekitar pinggiran kota Madinah Di perang Khandaq ini keampuhan dan ketangkasan Imam Ali r.a. juga teruji dalam perang tanding melawan seorang pendekar Qureiys yang terkenal ulung, yaitu 'Amr bin Abdu Wudd Al'Amiri. 'Amr seorang prajurit berkuda yang gesit dan lincah bermain pedang atau tombak.

Dengan congkak dan sombong 'Amr bin Abdu Wudd berani maju ke depan menyeberangi parit pertahanan kaum muslimin, lewat bagian yang agak dangkal dan sempit. Sambil membanggakan kebolehannya mengendalikan kuda, ia berteriak menantang: "Hai . . . Apakah tak seorang pun yang berani keluar untuk bertanding?"

Tantangan dari seorang jagoan yang garang itu tidak ditanggapi oleh pasukan muslimin. Kaum muslimin banyak yang mengenal siapa 'Amr bin Abdu Wudd itu dan betapa tenar namanya sebagai pendekar yang mahir berperang tanding.

Setelah melihat kenyataan tak ada seorang pun yang menanggapi tantangan 'Amr, Imam Ali r.a. tidak tahan lagi menahan perasaan geramnya. Ia segera berdiri dan berkata kepada Rasul Allah s.a.w.: "Ya Rasul Allah, biarlah saya yang menandingi dia!"

Rasul Allah s.a.w. yang mengetahui benar ' Amr itu seorang pendekar yang kenyang makan "garam" perang tanding, beranggapan, bahwa 'Amr bukanlah tandingan bagi saudara misannya yang baru berusia kurang dari 30 tahun. Karena itu maka beliau menyahut: "Duduk sajalah engkau, dia adalah 'Amr!"

Karena tidak ada juga jawaban dari fihak muslimin, mak 'Amr yang beringas itu berkoar lagi: "Mana itu sorga yang akan kalian masuki bila kalian mati terbunuh, hah?!"

Ejekan itu terasa seperti sembilu yang sangat mengiris-iris hati kaum muslimin, tetapi mereka tetap diam. Dengan darah muda yang mendidih laksana lahar yang menyembur dari kepundan, Imam Ali r.a. tidak dapat lagi menahan gejolak hatinya mendengar penghinaan yang sangat menyakitkan itu. Ia mendesak lagi kepada Rasul Allah s.a.w.: "Biarlah saya yang menghadapinya; ya Rasul Allah!"

Tetapi Rasul Allah s.a.w. kembali memerintahkan supaya Imam Ali r.a. duduk dan tenang, sebab yang akan dihadapinya bukan sembarang orang. Dengan perasaan yang sudah terbakar dan dengan nada gemas, Imam Ali r.a. berusaha meyakinkan Rasul Allah s.a.w. bahwa ia sanggup melawan dedengkot kaum musyrikin itu: "Biar 'Amr sekalipun ya Rasul Allah!"

Mengingat tekad Imam Ali r.a. yang begitu bulat, dan mengingat pula perlu membangkitkan keberanian kaum muslimin, akhirnya Rasul Allah s.a.w. memberi izin dan restu kepada Imam Ali r.a. untuk tampil ke depan. Imam Ali r.a. dengan hangat menyambut persetujuan dan izin Rasul Allah s.a.w. Ia segera meloncat ke depan menyongsong tantangan seorang lawan yang bukan sembarangan. Dengan mengenakan baju besi dan menghunus pedangnya yang tersohor dengan nama "Dzul Fiqar", Imam Ali r.a. maju dengan ayunan langkah yang tegap dan diiringi doa Rasul Allah s.a.w.: "Ya Allah, dia adalah saudaraku dan putera pamanku. Janganlah Kaubiarkan aku seorang diri tanpa dia. Sesungguhnya Engkau tempat aku berserah diri yang sebaik-baiknya."

Setelah berhadap-hadapan dengan 'Amr, tanpa perasaan gentar sedikit pun Imam Ali r.a.
bertanya kepada 'Amr: "Hai 'Amr, bukankah engkau pernah berjanji, bahwa engkau akan menerima ajakan seorang dari Qureiys untuk menempuh salah satu di antara dua jalan hidup?"

"Ya!" jawab 'Amr dengan singkat dan angkuh.

"Engkau kuajak. ke jalan Allah dan Rasul-Nya, ke jalan Islam", kata Imam Ali r.a. melanjutkan.

Kata-kata Imam Ali r.a. ini diucapkan dengan suara lantang yang memecahkan kesunyian garis pertempuran. Hampir semua mata dua pasukan yang siap tempur tertuju kepada dua sosok tubuh yang sedang berhadap-hadapan.

'Amr bin Abdu Wudd yang sudah cukup usia, garang dan banyak pengalaman menghadapi perang tanding kini bertatap muka dengan seorang anak muda yang berdiri tegak di hadapannya.

Pemuda pemberani, jantan dan perkasa, berbaju besi dengan pedang terhunus di tangan. Sungguh anggun kelihatannya. Konfrontasi antara dua orang itu melambangkan konfrontasi dari dua kekuatan yang berlawanan. Kekuatan lama yang sudah lapuk dan kekuatan baru yang sedang tumbuh, yaitu kekuatan jahiliyah dan kekuatan lslam.

Mendengar pertanyaan yang bernada desakan itu, dengan cepat 'Amr menyahut: "Aku tidak membutuhkan itu!"

"Kalau begitu, mari kita mulai bertanding!" tantang Imam Ali r.a. sambil siaga menghadapi gerakan 'Amr. Akan tetapi tantangan Imam Ali r.a. yang serius itu diremehkan saja oleh 'Amr: "Aku tak suka menumpahkan darahmu. Ayahmu kan teman karibku!"

Tanpa memperdulikan ucapan 'Amr, Imam Ali r.a. dengan perasaan tak sabar lagi berucap: "Tetapi, demi Allah, aku justru ingin membunuhmu!"

Ucapan seorang muda yang dianggap ketus oleh 'Amr itu, ternyata membangkitkan amarah dan meluapkan emosinya. Cepat saja darah perang yang mengalir dalam tubuh 'Amr mendidih.
Naluri keprajuritannya secara cepat menyentakkan gerak refleksi dan langsung seketika itu juga Imam Ali r.a. diserang. Demikian gesit dan tangkasnya 'Amr mengayunkan pedang dengan dorongan tenaga yang luar biasa. Tetapi Imam Ali r.a. tidak kalah tinggi nalurinya dan gerak refleksinya.

'Amr yang sejak semula meremehkan lawan, ternyata sia-sia belaka dalam mengerahkan segala kekuatan ototnya untuk menebas leher Imam Ali r.a. Kesempatan yang meleset itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Imam Ali r.a. Ia mengelak, menangkis dan menyerang dalam gerak beruntun secara kilat. Pada saat 'Amr kehilangan keseimbangan badan, Pedang Dzul Fiqar yang diayun kuat-kuat oleh Imam Ali r.a. menyambar bahu kanan 'Amr sampai terbelah dua.

Pendekar kebanggaan Qureiys itu jatuh dari atas kuda menggelepar di tanah mandi darah dan debu. Perang tanding berlangsung demikian cepat dan selesai jauh lebih cepat dari yang diperkirakan orang. Pada mulanya banyak yang menduga bahwa Imam Ali r.a. yang "masih hijau" itu akan "dibelah dua" oleh pedang 'Amr. Oleh karena itu ketika jagoan Qureiys itu tersungkur tidak bangkit kembali, banyak orang dari kedua pasukan terkesima. Hampir saja mereka, tidak mempercayai apa yang sudah terjadi. Baru setelah Imam Ali r.a. menyerukan takbir, kaum muslimin menyambutnya dengan mengumandangkan kebesaran Allah: Allaahu Akbar ...Allaahu Akbar.... !

Tanpa perasaan sombong dan tinggi hati Imam Ali r.a. kemudian menuju ke tempat Rasul Allah s.a.w. Dengan perasaan haru dan syukur ke hadirat Allah s.w.t., Rasul Allah s.a.w. mengeluarkan pernyataan singkat: "Perang tanding yang dilaksanakan oleh Ali bin Abi Thalib melawan 'Amr bin Abdu Wudd itu merupakan perbuatan paling mulia yang dilakukan umatku sampai hari kiyamat."

Akan tetapi terbunuhnya jagoan Qureiys belum menyelesaikan jalannya perang Khandaq. Namun terbunuhnya tokoh Qureiys itu menimbulkan kegoncangan yang hebat di kalangan pasukan penyerbu. Semangat pasukan penyerbu makin merosot, setelah harapan mereka untuk dapat menerobos parit makin tipis.

Dalam keadaan seperti itu terjadilah angin ribut dan hujan deras diiringi suara petir sambar-menyambar. Kemah-kemah dan perkakas-perkakas masak kaum musyrikin beterbangan dilanda angin kencang. Kubu pertahanan mereka menjadi porak poranda dan banyak sekali diantara mereka yang tak tahan menghadapi tekanan udara dingin.

Di tengah-tengah hembusan angin puyuh seribut itu, Abu Sufyan yang dalam perang Khandaq ini bertindak selaku rimpinan pasukan penyerbu, berkata kepada anak buahnya: "Saudara-saudara, kita tak perlu lama lagi tinggal di tempat ini. Banyak kuda dan unta kita yang sudah binasa.

Bani Quraidah sudah tak menepati janjinya lagi dengan kita. Bahkan kita mendengar hal-hal dari mereka yang tidak menyenangkan hati. Tambah lagi kita menghadapi angin kencang begini ributnya. Maka itu lebih baik kita pulang saja. Aku sendiri akan berangkat pulang!"

Di tengah-tengah angin puyuh yang begitu kencangnya, Abu Sufyan dan rombongan secara bergelombang meninggalkan tempat dan kembali ke Makkah. Keesokan harinya sudah tak ada lagi seorang Qureiys atau Yahudi yang masih tinggal. Semuanya sudah jauh meninggalkan parit.

Rasul Allah bersama kaum muslimin lainnya dengan tenang kembali ke tempat kediaman masing-masing. Semuanya memanjatkan syukur sedalam-dalamnya kepada Allah s.w.t. yang telah menghindarkan mereka dari marabahaya.


Perjanjian Hudaibiyah

Beberapa waktu sesudah perang Ahzab (Khandaq), Rasul Allah s.a.w. berangkat membawa kaum muslimin kurang lebih 1500 orang. Beliau berangkat ke Makkah bukan dengan maksud untuk berperang, melainkan untuk menunaikan ibadah haji. Tak ada sebilah pedang yang terhunus.

Berita tentang keberangkatan Rasul Allah s.a.w. ini sampai juga kepada kaum Qureiys.
Mendengar berita itu kaum Qureiys segera membikin persiapan. Mereka khawatir kalau-kalau keberangkatan Rasul Allah s.a.w. itu hanya merupakan tipu muslihat untuk menyerbu Makkah.

Khalid bin Al Walid dan pasukannya menghadang kaum muslimin di tempat beberapa mil jauhnya di luar kota Makkah.

Rasul Allah s.a.w. setelah mendengar berita gerak-gerik pasukan Qureiys itu tetap melanjutkan perjalanan. Untuk menghindari konflik senjata beliau dengan sejumlah sahabat menempuh jalan lain, meskipun jalan itu agak sulit dilewati. Akhirnya beliau tiba di sebuah tempat bernama Hudaibiyah.

Mengetahui perkembangan baru yang ditempuh oleh rombongan Rasul Allah s.a.w. Khalid bin A1 Walid dan pasukannya segera kembali ke Makkah untuk mempertahankan kota. Ketika itu semua orang Qureiys sudah dihinggapi kegelisahan dan khawatir menghadapi kaum muslimin.

Walaupun begitu mereka tetap bertekad hendak mencegah masuknya rombongan Rasul Allah s.a.w. dengan cara apa saja. Selang beberapa hari, fihak Qureiys mengirim utusan kepada Nabi Muhammad s.a.w. guna mengetahui benar-benar apa yang sesungguhnya menjadi maksud kedatangan beliau dan rombongan. Setelah melakukan dialog seperlunya, perutusan itupun kembali. Mereka percaya, bahwa kedatangan kaum muslimin benar-benar hendak menunaikan ibadah haji. Sewaktu hal itu dilaporkan, kaum musyrikin Qureiys tak mempercayainya. Malahan perutusan itu dituduh berkhianat hendak membantu Rasul Allah s.a.w.

Kaum musyrikin mengirim utusan lagi dipimpin seorang gembong terkemuka. Hasilnya sama saja dengan perutusan yang pertama: Kaum musyrikin Qureiys masih tak percaya. Kini dikirim utusan seorang saja, yaitu 'Urwah bin Mas'ud Ats Tsaqafiy. Sekembalinya dari perundingan dengan Nabi Muhammad s.a.w., 'Urwah mengemukakan kepada kaum musyrikin Qureiys, bahwa "Rasul Allah s.a.w. menawarkan satu rencana yang baik, oleh sebab itu terimalah!"

Sejalan dengan itu Rasul Allah sendiri kemudian mengirim seorang utusan, yaitu Kharrasiy Al Khuza'iy guna menemui orang Qureiys. Musyrikin Qureiys tidak mau menerima utusan itu.

Bahkan unta kendaraannya dibantai dan hampir saja ia dibunuh, kalau tidak dicegah oleh salah seorang gembong Qureiys.

Rasul Allah s.a.w. berusaha terus. Kali ini yang dikirim Utsman bin Affan r.a. Ia baru masuk Makkah setelah ada jaminan dari anak pamannya, Aban bin Sa'id Al Ash. Dalam pertemuannya dengan orang-orang Qureiys, Utsman bin Affan menjelaskan maksud kedatangan Rasul Allah s.a.w. dan rombongan tidak lain hanya ingin menunaikan ibadah haji.

Kaum musyrikin Qureiys memang kepala batu. Utsman bin Affan mereka tahan selama 3 hari. Di kalangan kaum muslimin terdengar desas-desus bahwa Utsman bin Affan telah mati dibunuh.

Untuk menghadapi kemungkinan Utsman bin Affan r.a. benar-benar dibunuh oleh orang-orang Qureiys, Nabi Muhammad berseru kepada para sahabatnya supaya menyatakan janji setia (bai'at) guna melancarkan serangan menuntut bela melawan penghianatan Qureiys. Kaum muslimin berlomba-lomba menyambut seruan beliau. Mereka siap memanggul senjata untuk berperang melawan Qureiys.

Janji setia kaum muslimin kepada Rasul Allah s.a.w. yang bersejarah itu dilakukan oleh mereka di bawah sebatang pohon. Peristiwa itu dikenal dengan nama "Bai'atur Ridhwan" (janji setia yang diridhoi Allah). Satu peristiwa yang dipuji Allah s.w.t., seperti yang termuat dalam S. Al Fath:l8 (A1 Qur'an).

Mendengarkan kebulatan tekad kaum muslimin di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. itu, kaum musyrikin Qureiys merasa gentar. Mereka sudah mengenal betapa gigihnya kaum muslimin berperang, seperti yang telah dibuktikan pada masa-masa yang lalu. Musyrikin Qureiys mengirim utusan yang dipimpin oleh Suhail bin Amr. Setelah perutusan itu mengadakan perundingan dengan Rasul Allah s.a.w., dua belah fihak sepakat untuk menanda-tangani sebuah perjanjian gencatan senjata.

Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menuliskan nashah perjanjian yang akan ditanda-tangani oleh kedua belah fihak. Sedangkan beliau sendiri mendiktekan syaratsyarat yang telah disetujui bersama. Pertama-tama beliau berkata: "Tulislah: "Bismillaahi ar-Rahman ar-Rahim . . ."

Mendengar kalimat itu Suhail menukas: "Berhenti dulu. Aku tidak mengerti apa ar-Rahman ar-Rahim" itu! Tulis saja "Dengan nama-Mu, ya Allah. . ."

Tanpa menyangkal lagi Rasul Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menulis apa yang diminta oleh Suhail. Kemudian beliau meneruskan, "Tulislah: 'Inilah perjanjian yang diadakan oleh Muhammad Rasul Allah dengan Suhail bin 'Amr'…"

Suhail memotong "Berhenti dulu. Kalau aku percaya engkau Rasul Allah, tentu aku tidak akan memerangimu. Tuliskan saja namamu dan nama ayahmu...!"

Rasul Allah menuruti apa yang diminta oleh Suhail. Beliau memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menuliskan kalimat: "Inilah perjanjian yang telah disepakati Muhammad bin Abdullah..." dst.

Kemudian dilanjutkan dengan penulisan teks syarat-syarat perjanjian yang terdiri dari empat pokok:
1. Perjanjian gencatan senjata antara kedua belah fihak berlaku selama masa 10 tahun.
2. Jika ada orang dari fihak Qureiys memeluk Islam kemudian bergabung dengan Rasul Allah s.a.w. tanpa seizin Qureiys, orang itu akan dikembalikan oleh Rasul Allah kepada Qureiys. Sebaliknya jika ada orang dari fihak Rasul Allah yang murtad dan kembali ke fihak Qureiys, orang itu oleh Qureiys tidak akan dikembalikan kepada Rasul Allah.
3. Jika ada orang Arab ingin bersekutu dengan Rasul Allah, dibolehkan. Dan apabila ada orangorang Arab lain ingin bersekutu dengan kaum Qureiys, ia bebas berbuat demikian.
4. Rasul Allah dengan para pengikutnya harus pulang meninggalkan Makkah. Mereka berhak untuk kembali lagi ke Makkah pada musim haji yang akan datang untuk berziarah ke Baitul Haram, dengan syarat: mereka hanya akan tinggal di Makkah selama 3 hari, dan tidak akan mengeluarkan pedang dari sarungnya.

Tidak lama setelah "Perjanjian Hudaibiyah" itu ditandatangani, Banu Khuza'ah segera menyatakan bersekutu dengan Rasul Allah s.a.w. Sedangkan Banu Bakr menyatakan bersekutu dengan fihak Qureiys.

Dengan perjanjian tersebut kaum muslimin memperoleh kesempatan leluasa untuk menyiarkan agama Islam kepada orang-orang Arab di luar kaum musyrikin Qureiys, dan memperoleh waktu yang cukup untuk membangun dan memperkuat negeri.





0 Responses

Posting Komentar